Nama :
Julvian
Nim :
110240120
Jurusan :
Manajemen
Komunikasi
Dosen : Kamaruddin M.Si
KOMUNIKASI POLITIK DAN ETIKA POLITIK PARTAI ACEH
I
.Pendahuluan/pengantar
Secara
umum pengertian fatsoen politik mengacu pada suatu proses atau aktifitas
politik yang mengandung asa-asas etika keadaban, tatakrama, dan tanggung jawab
dalam bingkai kesetaraan dan penghormatan kepada sesama pelaku politik.
Artinya, pada tataran praksis pola perilaku personal maupun institusional dari
aktor-aktor politik selalu menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip
demokrasi yang berbasiskan integritas moral, dan konsistensi politik. Para
politisi sebagai aktor memahami dan mengamalkan fatsoen politik dan tidak
mendewakan kekuasaan. Kekuasaan bukan tujuan akhir perjuangan politik, tapi
lebih difungsikan sebagai sarana guna memfasilitasi tumbuhnya politik yang
mensejahterakan rakyat sebagai pemilik absah mandat berbangsa dan bernegara.
Kelompok-kelompok politik yang berseberangan secara politik maupun ideologis
tidak pula dianggap sebagai musuh yang harus dibinasakan sampai ke
akar-akarnya. Namun lebih diposisikan sebagai mitra yang setara dalam suatu
proses kompetisi demokrasi yang sehat. Potret konstruksi politik Indonesia pada
fase awal periode kemerdekaan Indonesia tahun 1950-an cerminan eksistensi
fatsoen politik difungsikan sebagai kompas dan fondasi berpolitik elit nasional
di masa itu. Dinamika komunikasi politik antar sesama elit partai ketika itu
sangat harmonis, meskipun perspektif visi ideologis bersebrangan secara
diametral Tokoh-tokoh partai Islam terbesar masa itu seperti Mohammad Natsir,
Sukiman, dan Mohammad Roem dkk bergaul dan berteman baik dengan tokoh partai
Katolik IJ Kasimo dkk dalam semangat kebersamaan dan kebangsaan. Perilaku
politik luhur ini bukan sekadar ilusi, tapi dipraktikkan dalam tataran realitas
politik konkret dalam Pemilu 1955. Pemilu pertama itu adalah pemilu yang paling
bersih dan demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Kualitas pemilu yang
demikian tidak mungkin dihasilkan dari sebuah milieu politik yang minus moral
dan etika politik seperti pemilu-pemilu Indonesia selanjutnya.
Sedangkan dinamika perpolitikan di Aceh sekarang ini, terlihat hampa fatsoen
politik. Lebih banyak diwarnai proses dakwa-dakwi yang mendistorsi
prinsip-prinsip demokrasi dan asas mufakat yang Islami. Dalam mencari solusi
atas berbagai persoalan politik cenderung disikapi secara vulgar dan kurang
ramah atas kritik. Solusi atas perbedaan tidak diarahkan menuju titik temu
konsesus politik yang konstruktif positif, dalam bingkai keislaman dan keacehan
yang dapat diterima semua pihak. Semestinya dibangun kompromi politik berbasis
kearifan lokal dalam duek pakat. Sayangnya yang sering dipertontonkan adalah
duek meukap-kap sesama elit.
Selemak
kisruh pilkada Aceh setahun terakhir ini adalah cerminan budaya politik yang
nir fatsoen politik. Atraksi akrobat politik antara DPRA yang dimotori PA vis
avis kubu eksekutif yang dipimpin Irwandi, yang notabene sama-sama berasal dari
rahim perjuangan GAM, telah menguras energi dan waktu elit yang seharusnya
mensejahterakan rakyat korban multi bencana, mulai dari konflik, tsunami, serta
korupsi. Tontonan politik yang disuguhkan sungguh tidak memberi pendidikan
politik kepada rakyat.
Semua
itu menegaskan fenomena faktual hilangnya fatsoen politik di panggung kekuasaan
legislatif dan eksekutif. Beragam pernyataan politik insinuatif, prejudis,
provokatif yang saling menjatuhkan, sampai pada aksi demonstrasi massa ‘rakyat’
menolak pilkada. Dilanjutkan dengan saling gugat di MK, satu pihak minta
pilkada ditunda, dan pihak lain minta terus berlanjut. Semua tindakan diarahkan
untuk mendelegitimasi lawan politik.
II. PEMBAHASAN
1 .Komunikasi politik
sebagai ilmu studi komunikasi
Komunikasi
politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara, dikaitkan dengan banyak hal,
dan dilihat dari berbagai macam sudut pandang. Sebagaimana yang diungkapkan Mc
Nair (2003) dalam bukunya Introduction to Political Communication, ia menulis
bahwa:
Setiap
buku tentang komunikasi politik harus dimulai dengan pernyataan bahwa istilah
komunikasi politik sulit untuk didefinisikan secara tepat, kelihatannya
sederhana karena dua kata dalam frase tersebut terbuka untuk didefinisikan
bermacam-macam.
Dalam
bukunya tersebut Mc Nair mengutip Denton and Woordward yang memberikan definisi
komunikasi politik sebagai berikut: Diskusi tentang alokasi public resources
(revenue), official authority (mereka yang diberikan kekuasaan untuk membuat
peraturan, keputusan legislative dan eksekutif), dan official sanction (
penghargaan atau hukuman oleh Negara). Menurut Mc Nair definisi Denton and
Woodward di atas termasuk didalamnya retorika politik verbal dan tulisan, namun
tidak termasuk komunikasi simbolik. Sedangkan menurut catatan Mc Nair, Doris
Graber berpandangan bahwa komunikasi politik termasuk didalamnya adalah
paralinguistik seperti bahasa tubuh dan tindakan politik seperti boikot dan
protes. Mc Nair sependapat dengan padangan Graber, bahkan pakaian apa yang
digunakan, gaya rambut, tata rias, logo, dan semua elemen komunikasi yang
ditujukan untuk membentuk image politik termasuk dalam komunikasi politik.
Dengan bersandar pada definisi dari Denton and Woordward, Mc Nair menekankan
komunikasi politik pada adanya intensi/maksud. Kemudian Mc Nair lebih
menyederhanakan bahwa komunikasi politik terdiri dari:
1. Semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh politikus dan actor politik yang
lain untuk mencapai suatu tujuan yang spesifik
2.
Komunikasi yang dialamatkan kepada para actor politik oleh non politikus
seperti pemilih dan kolumnis
3. Komunikasi tentang para actor politik dan aktifitas mereka, sebagaimana yang
dimuat berita, editorial, dan berbagai bentuk media dan diskusi politik.
Graber sendiri memberikan definisi komunikasi politik mencakup:
Konstruksi
pengiriman, penerimaan, dan proses pesan yang memiliki potensi langsung atau
tidak langsung dampak politik yang signifikaan Graber melanjutkan bahwa
pengirim dan penerima pesan bisa siapa saja baik dia politisi, jornalis,
anggota kelompok kepentingan, pribadi yang tidak terorganisir, dan yang menjadi
elemen kunci adalah pada pesan yang memiliki efek politik yang signifikan pada
pemikiran,keyakinan, dan perilaku individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat
yang berada pada lingkungannya. Adanya dampak politik inilah yang mendapat
penekanan Graber.
2 .proses komunikasi
politik di aceh
Kesepakatan
para kandidat kepala daerah Aceh beberapa waktu lalu itu baru sebatas komitmen
seremonial belaka, belum bisa menggaransi terciptanya pemilukada Aceh yang
damai, jujur dan adil. Beberapa kasus teror, intimidasi dan pembakaran atribut
maupun mobil tim sukses pascadeklarasi itu, memperkuat asumsi tersebut. Oleh
karena itu, masih dibutuhkan satu tindakan lanjutan yang lebih konkret di
lapangan.
Para
pemangku (stakehoder) yang bertanggung jawab atas pemantauan setiap tahapan
pelaksanaan kampanye, khususnya Panwaslu, dan Polri perlu lebih proaktif
melakukan tindakan preventif terhadap pelaku kriminal tersebut. Termasuk juga
pengawasan atas para juru kampanye yang berwatak machiavellis. Kelompok ini
minim sensifitas konflik dan kepedulian pada penciptaan perdamaian di
masyarakat. Ini berbahaya bagi kelompok bagi kategori pemilih akar rumput yang
mayoritasnya irrational voter yang sikap politiknya lebih didorong faktor
emosional, dibanding analisis politik rasional. Sehingga mudah sekali tersulut
oleh isu-isu propaganda agitatif yang berpeluang konflik.
Pengalaman pemilu di beberapa wilayah bekas konflik, membuktikan pesta
demokrasi banyak diwarnai kekerasan politik antar-pendukung kandidat. Kasus
pemilu presiden Timor Leste 2007, contoh konkret yang mungkin relevan sebagai
pembelajaran bagi pemilukada Aceh 2012. Pemilu di bekas koloni Portugal itu
disertai konflik horizontal berdarah antara sesama mantan kombatan. Kelompok
massa Fretilin dipimpin Mari Alkatiri yang mendukung capres Francisco Guterres
bentrok dengan massa CNRT di bawah Xanana Gusmao yang mendukung capres Ramos
Horta.
Sebagian kalangan di dalam maupun di
luar Aceh berkeyakinan pemilukada kedua Aceh ini akan berlangsung aman dan
damai. Pandangan optimis ini mengacu pada Pilkada 2006 yang berlangsung relatif
aman dan minim kekerasan. Namun jika melihat situasi dan kondisi politik Aceh
dewasa ini, pandangan tersebut masih perlu dieksplorasi lebih lanjut.
Konstruksi politik lokal Aceh hari ini sudah berubah drastis, dan sangat
kontras dengan situasi Pilkada Aceh 2006.
Dinamika
politik lokal saat itu cukup kondusif, diliputi suasana euforia damai hasil MoU
Helsinki. Relasi politik internal GAM pun sangat interaktif, solid dan kohesif.
Seluruh aspirasi politik GAM bernaung di bawah payung politik tunggal KPA.
Namun disain peta politik Aceh pada 2012 ini yang sudah terbelah dua akibat rivalitas
kepentingan elite yang dibayangi potensi kekerasan. Jika dibahasakan dalam
konteks kearifan lokal, periode 2006 bisa disebut sebagai fase sapeu pakat
(konvergensi), sedangkan periode 2012 adalah fase laen keunira (divergensi). Pada aras inilah kampanye berbasis komunikasi
politik cerdas menjadi signifikan dan urgen dioperasionalkan secara efektif
dalam Pemilukada Aceh kali ini. Memberi ruang edukasi, aspirasi dan
partisipatif, yang mencerdaskan dan memperkaya pengetahuan pemilih. Segala
potensi konflik horizontal sesama aneuk nanggroe selama kampanye pun dapat
dihindarkan. Sehingga harapan Pemilukada Aceh kali ini akan berlangsung dalam
kedamaian dan harmoni demokrasi serta jalinan persahabatan sesama partisipan,
bukanlah sekadar mimpi politik belaka.
3 .komunikator
politik dalam KPA
Kegiatan
kampanye yang dilakukan oleh tim kampanye berkaitan erat dengan kegiatan
pemasaran politik (political marketing). Kampanye merupakan bagian
penting atau salah satu bentuk penting dari pemasaran politik. Dengan semakin
ketatnya persaingan politik karena berlangsungnya sistem multipartai dan
pemilihan secara langsung saat ini, maka pemasaran politik semakin diperlukan.
Untuk memahami lebih jauh bagaimana tahapan dan proses kampanye dijalankan, ada
beberapa model kampanye yang bisa digunakan:
Model Komponensial
Kampanye
Model kampanye ini didasarkan pada
komponen atau unsur-unsur dalam proses komunikasi yang meliputi: sumber
(komunikator), pesan, saluran (media), penerima (komunikan), efek, dan umpan
balik (feed back). Unsur-unsur tersebut harus dipandang sebagai satu
kesatuan yang mendeskripsikan dinamika proses kampanye. Model ini menempatkan
sumber kampanye sebagai pihak yang dominan mengkonstruksi pesan yang ditujukan
untuk membuat perubahan pada khalayak. Pesan-pesan kampanye disampaikan melalui
berbagai media atau saluran baik yang sifatnya formal atau non formal, media
massa atau saluran personal, dan lain-lain. Terjadinya efek berupa perubahan
pada diri khalayak bisa diidentifikasi dari umpan balik yang diterima sumber
kampanye.
Model Perkembangan Lima Tahap
Fungsional
Model ini cukup populer karena sifatnya
yang fleksibel untuk diterapkan pada berbagai jenis kampanye, baik kampanye
produk, kampanye politik, maupun kampanye sosial. Model ini menjelaskan adanya
lima tahap kegiatan kampanye, yaitu: identifikasi, legitimasi, partisipasi,
penetrasi, dan distribusi. Tahap identifikasi adalah tahap penciptaan identitas
kampanye yang mudah dikenali dan diingat oleh khalayak. Tahap legitimasi
merupakan tahap “pengakuan” keberadaan peserta kampanye oleh khalayak. Dalam
kampanye politik misalnya, legitimasi diperoleh kandidat atau partai politik
ketika masuk dalam daftar peserta, atau kandidat memperoleh dukungan dalam polling
yang dilakukan oleh lembaga independen, atau para pejabat politik yang sedang
berkuasa. Tahap partisipasi menunjuk pada partisipasi atau dukungan yang
diberikan oleh khalayak. Partisipasi ini bisa bersifat nyata maupun simbolik. Tahap
penetrasi bila kandidat atau partai politik telah hadir dan mendapat tempat
dalam hati khalayak. Tahap distribusi disebut juga sebagai tahap
pembuktian. Pada umumnya tujuan kampanye telah tercapai pada tahap ini, tinggal
bagaimana membuktikan janji-janjinya pada pemilihnya. Bila kandidat terpilih
gagal dalam tahap ini, bisa berakibat buruk bagi kelangsungan jabatannya.
Pemilih bisa jadi tidak akan memilih kandidat atau partai yang tidak bisa
membuktikan janji-janjinya pada pemilu berikutnya.
Model Fungsi-fungsi Komunikatif
Model ini juga melihat kampanye dari
tahap-tahap proses kampanye yang dilakukan. Langkah-langkah kampanye dimulai
dari surfacing, primary, nominating, dan diakhiri dengan election.
Tahap surfacing atau pemunculan dimulai ketika kandidat atau partai
secara resmi mencalonkan diri. Dalam tahap ini khalayak mulai mengetahui
kemunculan kandidat atau partai. Tahap primary merupakan upaya untuk
memfokuskan perhatian khalayak pada kandidat atau partai. Dalam kampanye
politik pada tahap ini antar kandidat atau partai akan “berlomba-lomba” menarik
perhatian khalayak. Terakhir tahap election atau pemilihan dimana
khalayak menentukan pilihannya pada kandidat atau partai tertentu.
Dari hasil
penelaahan model yang dilakukan oleh Venus, kebanyakan model-model kampanye
yang dibahas dalam literatur komunikasi memusatkan perhatiannya pada tahapan
proses kegiatan kampanye. Sangat sedikit, kalau tidak bisa dikatakan hampir tidak ada, model kampanye yang
menggambarkan kampanye berdasarkan unsur-unsur komunikasi sebagaimana ketika
menjelaskan proses komunikasi yang terdiri dari unsur-unsur komunikator, pesan,
media, komunikan, dan feed back. Padahal
sesungguhnya kegiatan kampanye politik merupakan bentuk kegiatan komunikasi
politik.
4 .pembicaraan pesan
politik di aceh
Pertanyaan
yang muncul selanjutnya, adalah apa yang mendasari hilangnya fatsoen politik di
kalangan elit politik Aceh? Beberapa alasan sosio historis dan kultural di
bawah ini mungkin menjelaskan persoalan ini. Pertama, dinul Islam belum
melembaga dan difungsikan sebagai parameter perpolitikan elit-elit di Aceh.
Tamadun Islam telah hilang ruhnya dalam pusaran perpolitikan di bumi Serambi
Mekkah.
Misi kerakyatan (propoor) elit telah terkontaminasi oleh unsur politik
pragmatisme. Motivasi masuk ke dalam sistem terkesan lebih dimotivasi faktor
Innova atau double cabin, ketimbang untuk merealisasikan janji-janji semasa
kampanye untuk mensejahterakan rakyat. Inilah potret buram peta politik di
Tanah Rencong hari ini, di tengah proses uji coba dan kerja keras menuju
syariatnisasi kehidupan sosial politik.
Kedua,
pasca MoU Helsinki telah melahirkan euforia politik lokal, terutama hadirnya
partai politik (parpol) berbasis lokal di Aceh. Telah melahirkan sejumlah
politisi dadakan, yang sebelumnya hanya dinikmati segelintir elit parpol
berbasis nasional warisan Orde Baru. Aktor-aktor politisi baru ini terdiri dari
para mantan kombatan GAM telah mendominasi struktur politik lokal, di parlemen
(DPRA) maupun di eksekutif (kepala daerah).
Lapisan elit politik baru ini secara visi politik masih dalam proses
metamorfose dari mental perang (fighter mindset) menuju politisi sipil
profesional. Sudah menjadi kelaziman lapisan politisi dengan latar mantan
gerilyawan memiliki gaya negosiasi dan pendekatan politik yang masih diwarnai
pola militeris.
Ketiga,
sejarah politik Aceh sarat episode konflik, baik berskala horizontal (revolusi
sosial) maupun vertikal (DI/TII dan GAM). Suasana lingkungan perang dibelahan
dunia mana pun, selalu diliputi idiom-idiom kekerasan politik lebih mengemuka
dan menenggelamkan peluang terbangunnya diskursus politik bernuansa intelektual
yang mencerahkan.
Kondisi
inilah yang bertahun-tahun telah menyandera demokratisasi politik Aceh yang
menghambat tampilnya kalangan intelektual muda di garda depan perpolitikan Aceh
pascakonflik. Dominasi dan hegemoni kalangan mantan kombatan adalah suatu
konsekuensi logis dari fenomena tersebut.
Keempat, faktor lemahnya daya tawar politik masyarakat sipil pengusung ideologi
populis, seperti pembelaan HAM dan penyelamatan lingkungan. Sehingga upaya
menekan secara politik atas partai-partai mainstream membangun politik bersih
seperti pemberantasan KKN atau persekongkolan politisi dan pemilik modal.
Lemahnya posisi tawar ini, telah membawa beberapa tokoh yang penuh talenta
politik, melakukan migrasi politik menjadi elit partai mainstream.
Faktor
terakhir, minimnya kontribusi ulama dalam konstelasi politik lokal Aceh
pascakonflik. Telah menghambat tumbuh dan berkembangnya fatsoen politik yang
bertamadun Islam. Terpinggirnya komunitas religius ini, buah strategi politik
kooptasi Orde Baru atas sebagian ulama ke dalam satu parpol tertentu.
Akibatnya, sekarang ini sulit mencari ulama kharismatis sekaliber ulama-ulama produk
PUSA yang mampu mendisain sistem baru. Sama sulitnya membangun fatsoen politik
Aceh sekarang ini.
Beberapa
nilai
yang layak diberikan kepada sikap politik yang sedang dijalankan oleh Partai
Aceh (PA) yang kini dinakhodai oleh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa dengan
Mualem?
Sebagaimana
diketahui, PA mengambil sikap tidak ambil bagian dalam hiruk pikuk politik
Pilkada Aceh saat ini, yang dinilainya bergerak tanpa menghormati etik dan spirit
kesepakatan damai antara Aceh dan Indonesia. Menurut PA, inti persoalannya
bukan soal boleh atau tidak boleh calon independen terlibat dalam ajang Pilkada
Aceh. Tapi, boleh atau tidak boleh itu mestilah diproses dengan melibatkan
lembaga perwakilan rakyat, DPRA.
Meski
begitu, PA juga tidak mengambil sikap menghadang jalannya politik Pilkada Aceh
saat ini. Tidak ada seruan politik kepada rakyat untuk memboikot jalannya
Pilkada Aceh. PA malah memilih tidak ikut serta sambil mengetuk hati
orang-orang pintar, bijak dan arif, yang oleh PA diyakini masih ada, baik di
nasional maupun di Aceh. PA mengajak mereka untuk menyelamatkan perdamaian
ketimbang terburu-buru dalam ajang Pilkada Aceh. Menurut PA, Jika hal utama
bisa diselamatkan (MoU dan UUPA) barulah pesta demokrasi Pilkada Aceh digelar,
bila perlu semeriah mungkin.
Sikap
politik PA ini, di satu sisi, memang terlihat sebagai sikap politik merugi.
Rugi pertama, takdir politik tiba-tiba saja tercabut pada PA. Betapa tidak,
semua partai politik memang sudah ditakdirkan untuk merebut kekuasaan.
Setidaknya, begitulah pengertian dasar dari partai politik. Dengan begitu
partai lebih yakin bisa mewujudkan cita-cita politiknya. Rugi kedua, PA sudah
memberi kartu kemenangan yang mudah bagi “lawan” politiknya. Bisa jadi dapat
menjatuhkan moral politik anggota partai, terbelah dalam politik dukungan dan
pada akhirnya bisa terjadi persinggungan politik internal partai.
Namun begitu, sikap politik PA bukan tanpa untung. Pertama, PA berhasil
memperlihatkan karakter politiknya yang tegas. Rakyat akan berkesimpulan bahwa
PA bukan partai politik biasa yang semata-mata berorientasi kekuasaan.
Menyelamatkan pardamaian adalah hal utama. MoU Helsinki dan UUPA harus dijaga
karena itulah harga diri yang menjadi jalan Aceh meraih masa depan bermartabat.
Inilah peran yang sedang ditegaskan oleh PA sebagai partai politik mayoritas.
PA,
sepertinya tidak mau mengulangi kesalahan sejarah politik masa lalu yang kerap
berakhir dengan pengkhianatan terhadap perjanjian dan kesepakatan. PA, secara
politik seperti ingin berkata bahwa Aceh berdamai tidak dalam artian menyerah
melainkan mari mengelola Aceh dengan menghormati ureung Aceh (melalui DPRA).
Jika ada yang mau diubah maka lakukan perubahan itu dengan baik menurut ukuran
perjanjian. Jika ada yang salah secara hukum atau secara politik maka
perubahannya haruslah dibicarakan sebagaimana yang sudah disepakati prosesnya.
Kedua,
sikap PA ini bisa saja menjadi penambah dorongan perbaikan UU Partai Politik
dan juga UU Pemilukada yang saat ini juga sedang menjadi diskursus politik di
nasional. Jika ini terjadi, itu artinya, Aceh akan kembali menjadi penguat laju
lokomotif bagi perbaikan demokrasi di Indonesia yang kini memang masih terus
mencari bentuknya menuju yang lebih baik lagi khususnya bagi daerah-daerah di
Indonesia.
Ketiga, sikap PA menjadi penting bagi masa depan politik Aceh. Pertama, sikap
PA mematikan langkah politik instan para spekulator politik. Para spekulan
politik bisa saja menang namun dengan biaya politik tinggi. Jika ini terjadi
maka dukungan awal akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Logikanya
sederhana, biaya politik tinggi pasti berakhir dengan kepemimpinan koruptif.
Kedua, sikap PA juga mematikan langkah politik kaum ultranasionalis yang masih
saja tidak rela dengan capaian politik ureung Aceh saat ini. Berbagai benturan
politik dilakukan untuk memastikan adanya kontrol atas elite poliik di Aceh.
Inilah klik politik PA di bawah kepemimpinan Mualem, tentu menurut penulis. PA
telah menutup pintu-pintu negosiasi politik liar sebagaimana kerap terjadi pada
sejarah politik Aceh masa lalu. Banyak perjanjian politik berakhir dengan
pengkianatan atau minimal menjadi perjanjian tak bermakna, yang akhirnya
melahirkan benturan sosial dan pemberontakan.
PA,
dengan pengalaman konflik panjang, sepertinya sangat sadar akan beban berat
politik Aceh. Bila politik Aceh tidak terkelola maka siklus konflik berdarah
antara Aceh dan Indonesia bisa saja terjadi lagi. Pada saat yang sama PA,
sepertinya juga sangat menyadari potensi politik oportunis yang dimiliki Aceh,
yang bisa menggadaikan harga diri Aceh untuk sebuah kekuasaan, pengaruh, dan
uang melalui strategi politik kamuflase.
Sikap
politik PA ini tentu saja tidak mudah dan belum tentu tidak akan goyah.
Berbagai tantangan dan benturan politik masih mungkin akan dan harus dihadapi
oleh PA sekaligus elite politik Aceh lainnya. Pada akhirnya, ketahanan politik
PA memang akan diuji dipentas politik Aceh yang kini masih sangat labil. Untuk
itu, demam komunikasi politik PA memang perlu diperbaiki untuk diperkuat agar
apa yang menjadi sikap politik pimpinan PA semakin lebih dipahami dan
dimengerti oleh semua
5 .komunikasi politik
sebagai pendidikan politik di aceh
Pendidikan adalah upaya
mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik
potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita
kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam
keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup
kemanusiaan.selanjutnya
Landasan
Pendidikan diperlukan dalam dunia pendidikan khususnya di negara kita
Indonesia, agar pendidikan yang sedang berlangsung dinegara kita ini mempunyai
pondasi atau pijakan yang sangat kuat karena pendidikan di setiap negara tidak
sama. Politik Pendidikan, yaitu studi ilmiah tentang
aspek politik dalam seluruh kegiatan pendidikan. Bisa juga dikatakan studi ilmiah pendidikan tentang
kebijaksanaan pendidikan. (Suhartono, 2008 :103)
Dari
ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, landasan politik penting untuk
melatih jiwa masyarakat, berbangsa dan bertanah air dan juga dapat dimaknai
sebagai suatu studi untuk mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah
yang bila memungkinkan melakukan penyimpangan amanat.
Budaya
politik seseorang atau masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat
pendidikan seseorang atau masyarakat. Hal itu
bisa dipahami mengingat semakin tinggi kesempatan seseorang atau masyarakat
mengenyam pendidikan, semakin tinggi pula seseorang atau masyarakat memiliki
kesempatan membaca, membandingkan, mengevaluasi, sekaligus mengkritisi ruang
idealitas dan realitas politik. Maka, kunci pendidikan politik masyarakat
sebenarnya terletak pada politik pendidikan masyarakat.
Politik
pendidikan yang dimaksud termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan strategis
pemerintah dalam bidang pendidikan. Politik pendidikan yang diharapkan tentunya
politik pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil atau miskin. Bagaimanapun,
hingga hari ini masih banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan
anak-anaknya sampai tingkat SD sekalipun. Masih banyak sekolah yang kekurangan
fasilitas atau bahkan tidak memiliki gedung yang representatif atau tak
memiliki ruang belajar sama sekali. Masih banyak sekolah yang sangat kekurangan
guru pengajar. Masih banyak pula guru (honorer) yang dibayar sangat rendah yang
menyebabkan motivasi mengajarnya sangat rendah.
Dengan
kondisi tersebut, bagaimana mungkin bangsa ini bisa berdiri sejajar dengan
bangsa-bangsa lain yang kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM)-nya
sudah lebih maju. Dalam konteks politik khususnya, dengan kondisi pendidikan
seperti itu, bagaimana mungkin agenda pendidikan politik bisa dilakukan dengan
mulus dan menghasilkan kualitas budaya politik yang diharapkan. Maka, sangat
jelas, agenda pendidikan politik mensyaratkan agenda politik pendidikan yang
memberikan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat untuk belajar atau mengenyam
pendidikan, tanpa ada celah diskriminatif sekecil apa pun, sebagaimana pesan
Undang-Undang Dasar 1945.
6 .hambatan komunikasi politik di partai aceh
lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sedikit berbeda dengan undang-undang
lainnya. Hal ini disebabkan, paling tidak dua alasan: Pertama, keberadaan UUPA
sebagai “kompensasi” langsung dari perjanjian damai di Helsinki. Kedua, bentuk
“kekhususan” sebagaimana diberikan dalam UUPA, menjadi tidak bermakna bila
tanpa disertai dengan aturan pelaksananya.
Menilik lagi ke belakang, bahwa kehadiran UUPA tidak bisa dilepaskan dari Nota
Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoA) Perjanjian Damai antara
Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 15
Agustus 2005 silam. Perjanjian ini juga berkaitan dengan kemauan masing-masing
pihak untuk mundur selangkah. GAM mundur dari tekad memisahkan diri Aceh dari
NKRI. Sementara Pemerintah mundur dengan memberikan kewenangan yang besar bagi
Aceh untuk mengurus dirinya. Dalam Pasal
7 UUPA disebutkan bahwa Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi urusan pemerintahan
yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Kemauan
dari masing-masing pihak dengan jelas dapat kita simak baik dalam MoU Helsinki,
maupun dalam 273 Pasal UUPA.
Di samping itu, dalam penjelasan umum
UUPA disebutkan bahwa dua kondisi yang menyebabkan undang-undang tersebut
lahir, yakni: Pertama, upaya mengakhiri konflik yang telah berurat akar di Aceh
selama puluhan tahun. Kedua, tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 membuat
semua pihak harus berfikir keras agar Aceh bisa dibangun kembali. Posisi inilah
yang membuat kehadiran UUPA menjadi sangat khas, yang sangat berbeda dengan UU
lainnya. Posisi ini pula yang memberi gambaran betapa penting penuntasan aturan
pelaksana dari UU PA. Jangan seperti orang Aceh bilang: Menyoe di laot sapeu
pakat, ka di darat laen keunira (terjemahan bebasnya: ketika di laut satu kata,
tapi ketika di darat sudah lain cerita). Kondisi seperti ini tidak kita
harapkan, karena hadirnya UU PA memberi implikasi, salah satunya adalah
penuntasan aturan pelaksananya.
Aturan pelaksana
Bila kita buka kembali UUPA, setidaknya
terdapat 82 aturan pelaksana yang harus diselesaikan, mencakup sepuluh
Peraturan Pemerintah (PP), tiga Peraturan Predisen (Perpres), 68 Qanun Aceh,
dan satu Peraturan Gubernur (Pergub). Dari seluruh aturan pelaksana yang harus
dibentuk, hingga 2012 ini, masih ada yang belum terealisasi. Dari sepuluh PP,
baru tiga PP yang sudah selesai, yakni PP Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai
Politik Lokal (Pasal 95 UUPA), PP Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh dan Sekda Kabupaten/Kota
(Pasal 107), dan PP Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemerintah kepada DKS (Pasal 170). Di samping itu ada dua PP yang masih
dibahas, yakni Rancangan PP Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi Aceh (Pasal
160 UU PA) dan Rancangan PP Kewenangan Perintah yang Bersifat Nasional di Aceh
(Pasal 270). Sementara lima PP yang belum selesai, adalah: (1) Tata Cara
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (Pasal 43);
(2) Standar, Norma, dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Pegawai Negeri Sipil
Aceh/Kabupaten/ Kota (Pasal 124); (3) Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan
Aceh (Pasal 251); (4) Penyerahan Prasarana, Pendanaan, Personil dan Dokumen
Terkait dengan Pendidikan MI dan MTs (Pasal 264); (5) Penyerahan
Pelabuhan/Bandara ke Kabupaten/Kota (Pasal 265).
Sedangkan Perpres yang sudah selesai
adalah Perpres Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Tata Cara Konsultasi dan
Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana
Pembentukan Undang-undang,dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan Langsung
denganPemerintahan Aceh (Pasal 8), dan Perpres Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerjasama
Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri (Pasal 9). Perpres
yang belum selesai adalah mengenai Penyerahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi Perangkat Daerah
(Pasal 253).
Sementara dari 68 Qanun Aceh yang harus
diselesaikan, masih tersisa sekitar hampir 24 qanun lagi yang harus
diselesaikan. Berbeda dengan PP dan Perpres, posisi qanun sendiri ada di Aceh.
Bila masalah PP dan Perpres terkait dengan Pemerintah, maka qanun terkait
dengan kinerja eksekutif dan legislatif di Aceh sendiri. Logikanya adalah bila
dengan kerja kita sendiri saja masih belum tuntas, konon lagi mengharap
tuntasnya beban oleh Pemerintah. Tentu psikologi ini harus benar-benar disadari
oleh eksekutif dan legislatif di Aceh.
Ada peluang
Melihat masih banyak aturan pelaksana yang belum tuntas, maka jelas tantangan
eksekutif dan legislatif Aceh ke depan tergolong berat. Namun demikian dengan
komunikasi politik yang sudah dibangun oleh Gubernur dan Wakil Gubernur
terpilih dengan berbagai pihak, terutama dengan Jakarta, dapat membuka peluang
terselesaikannya masalah ini secara tuntas.
Paling tidak ada dua hambatan yang
terjadi selama ini. Pertama, komunikasi dengan Pemerintah sepertinya tersendat.
Pejabat Pemerintah mungkin harus dikomunikasikan lagi mengenai wewenang dan
kekhususan yang diatur dengan UUPA (yang intinya adalah ada perbedaan dengan
wewenang pada umumnya daerah lain di Indonesia). Kedua, komunikasi politik
legislatif dan eksekutif Aceh yang harus jalan mengenai banyaknya qanun yang
belum terselesaikan.
Dengan apa yang sudah mulai dilakukan
oleh Gubernur/Wakil Gubernur terpilih, menggambarkan bahwa mereka memahami
betul hambatan yang dihadapi selama ini. Membangun komunikasi dengan berbagai
pihak yang telah dilakukan, menjadi peluang besar agar berbagai aturan
pelaksana dari UUPA dapat segera terselesaikan. Tentu saja, dalam waktu yang
tidak terlalu lama.
III
.kesimpulan/saran
Ada pertimbangan amat jelas, mengapa dalam sistem
demokrasi, kecuali pemerintah, partai-partai yang di luar pemerintah pun
bertanggung jawab atas penyelesaian masalah bangsa. Ambillah sebagai contoh,
persoalan Aceh. Apakah pemerintah belaka yang bertanggung jawab solusinya?
Ataukah kecuali DPR-sebutlah-partai-partai oposisi? Kekuasaan silih berganti
dalam sistem demokrasi. Silih berganti lewat pemilihan umum. Masa jabatan
Presiden bahkan dibatasi sampai dua kali saja. Silih bergantinya kekuasaan
itulah faktor besar yang menyebabkan, dalam sistem demokrasi, semua pihak
bertanggung jawab atas solusi masalah-masalah besar bangsa dan negaranya.Sebab,
manakala suatu persoalan besar tidak berhasil diselesaikan oleh pemerintah
sekarang, pemerintah berikutnya tidak bisa lain, kecuali memperoleh giliran
untuk menyelesaikannya. Lagi pula, apa konsekuensi jika pemerintah sekarang
gagal menyelesaikan suatu masalah besar? Berarti, masalah terus terbawa ke
periode kekuasaan berikutnya. Masalah akan berakumulasi. Sebab, mana ada bangsa
terbelakang maupun maju yang bebas persoalan?Demokrasi secara eksplisit
menegaskan diri sebagai sistem pemerintahan yang mengutamakan dan membela
kepentingan rakyat banyak. Dalam sistem demokrasi, lomba bersaing dan
memperoleh kekuasaan terikat oleh komitmen. Komitmen itu ialah menyelenggarakan
pemerintahan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat banyak. Hal itu
dilaksanakan dengan mengurai dan menyelesaikan masalah-masalah agar
kesejahteraan rakyat bisa semakin terwujud.
IV
.Penutup
jika
persoalan platform partai politik kita kemukakan, pertimbangannya sekaligus
ganda. Pertimbangannya juga akan meletakkan komitmen dan tanggung jawab
demokrasi kepada partai.Agar partai-partai dan pimpinannya melihat dan
mempelajari secara terbuka dan secara kritis, apa saja persoalan-persoalan
bangsa dan negaranya. Bagaimana urutan persoalan-persoalan itu menurut urgensi
dan prioritasnya, dan bagaimana partai akan menawarkan kerangka dan pemahaman
untuk menanganinya.Kecuali menjadi ekspresi kebebasan dan haknya, retorika
politik, agar juga merupakan wacana, adu argumen bagaimana melihat dan memahami
persoalan-persoalan bangsa dan negara dan bagaimana menunjukkan arah, semangat,
dan cara untuk menanganinya
sumber :