Selasa, 06 November 2012

komunikasi politik di dalam kekuasaan demokrat


Nama         : Julvian
Nim            : 110240120
Mk             : komunikasi politik


Bentuk komunikasi politik di kekuasan partai Demokrat

I .Pendahuluan/pengantar

Bila dicermati dalam kurun beberapa waktu belakangan ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baik dalam kapasitasnya sebagai presiden maupun petinggi Partai Demokrat kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan atas situasi yang berkembang dalam dinamika sosial kemasyarakatan di negara ini. Salah satu pernyataannya adalah dalam pidato Presiden (8 Desember 2009) dalam menyambut Peringatan Hari Anti Korupsi Internasional (9 Desember 2009). Seperti biasa SBY mencoba menetralisasi pernyataan-pernyataan yang dia sampaikan sebelumnya terkait agenda aksi anti korupsi yang digalang oleh komponen masyarakat sipil. Kurang lebih dalam pidatonya tersebut. SBY menyatakan dukungan terhadap gerakan pemberantasan korupsi termasuk mendukung aksi peringatan hari anti korupsi internasional seraya menegaskan bahwa dia berada di garis paling depan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Tidak lupa sambil menyelipkan klaim prestasi-prestasi dalam bidang pemberantasan korupsi.
Pernyataan yang menurut penulis sungguh berbeda nuansanya dengan pernyataan yang SBY keluarkan sebelum-sebelumnya. Dalam beberapakali kesempatan, SBY berulangkali menekankan kekhawatiraanya atas rencana pelaksanaan aksi massa untuk memperingati hari anti korupsi yang digalang oleh kelompok sipil akan digunakan untuk kepentingan politik berupa penjatuhan posisinya sebagai presiden. Juga menyatakan bahwa aksi massa tersebut akan dibonceng oleh para penumpang gelap. Tidak cukup hanya SBY saja, aparat di bawahnyapun bersuara senada. Sehingga terkesan kekhawatiran ini telah menajdi kekhawatiran rezim. Mungkin lantaran tekanan situasi politik yang berbeda sehingga respon SBY dalam penyikapan hari anti korupsi Internasional kali ini berbeda jauh dengan peringatan yang sama pada tahun 2008. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa di awal kepemimpinan jilid keduanya, SBY telah dihadiahi persoalan politik dan hukum yang berat. Mulai dari rekayasa kriminalisasi KPK sampai kondisi politik serius dimana hak angket atas kasus Bank Century bergulir begitu maju. Dapat dikatakan hak angket tersebut berbeda dengan 8 hak angket yang bergulir di era kepresidenan SBY yang pertama.
Namun paparan di atas dapat saja terbantahkan bila merunut kembali berbagai pernyataan SBY yang kerap mendramatisasi keadaan bahkan cenderung prematur. Mari cermati kembali sikap SBY dalam menanggapi tragedi Bom JW Mariot Jakarta (17 Juli 2009). Dengan sangat yakin SBY menyatakan bahwa tragedi bom tersebut berhubungan dengan persoalan politik terutama menyangkut kemenangannya dalam pilpres 2009. SBY mensinyalir bahwa ada kelompok-kelompok yang tidak suka dengan kemenangannya dan mencoba mengganggu termasuk merencanakan pendudukan KPU demi penggagalan hasil Pemilu. Bahkan dengan keyakinan diri yang tinggi berulangkali SBY menyatakan bahwa pernyataannya berdasarkan data intelijen, data yang valid dan seolah-olah tidak terbantahkan.
Namun demikian faktanya, setelah kasus pemboman hotel itu dapat dibongkar oleh aparat kepolisian, tidak satupun fakta-fakta yang dapat menjelaskan hubungannya dengan gangguan politik yang ditujukan terhadap SBY. Beberapakali terkesan bahwa pernyataan yang disampaikan SBY cenderung tidak terbukti dan terlihat terburu-buru. Terkesan bahwa SBY salah langkah dalam menyikapi perekembangan dinamika politik. Bahkan banyak yang menganggap SBY telah gagal membangun komunikasi politik yang efektif.

II .Bahasan 

1 . politik sebagai studi ilmu Komunikasi
politik merupakan studi multidisipliner yang melibatkan beberapa cabang ilmu terutama cabang ilmu komunikasi dan ilmu politik. Hal ini bisa dilihat dari kajian komunikasi politik yang secara umum membahas keterkaitan antara proses komunikasi dan proses politik yang berlangsung dalam sebuah sistem politik. Kesulitan yang dialami oleh kebanyakan studi multidisipliner seperti studi komunikasi politik adalah sulitnya menemukan keberimbangan penekanan ataupun perspektif dan penguasaan metodologi lintas ilmu.
Selama ini studi komunikasi politik masih lebih banyak menjadi perhatian ilmuwan komunikasi ketimbang ilmuwan politik, sehingga bisa dipahami ketika ada perspektif yang berbeda dalam melihat proses komunikasi politik yang terjadi dalam sebuah sistem politik. Perbedaan penekanan dan perspektif antara ilmuwan komunikasi dan ilmuwan politik dalam melihat komunikasi politik terletak pada:
  • Ilmuwan komunikasi lebih cenderung melihat peran media massa dalam komunikasi politik, sedangkan ilmuwan politik (khususnya penganut mazhab behavioralisme) cenderung melihat proses komunikasi politik dari segi pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik dalam kegiatan kemasyarakatan.
  • Ilmuwan komunikasi cenderung melihat saluran komunikasi politik dalam bentuk media massa sebagai saluran terpenting. Sedangkan ilmuwan politik melihat saluran media massa dan saluran tatap muka yang melibatkan pemimpin opini (opinion leader) memainkan peran yang sama pentingnya.
Penelusuran yang dilakukan dengan cara memperlihatkan bahwa kajian komunikasi politik berawal dari kajian tentang propaganda dan opini publik pada tahun 1922 dimana Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann melakukan penelitian tentang opini publik, disusul oleh peneliti-peneliti berikutnya. Pada tahun 1027 Harold Lasswell dalam disertasinya melakukan penelitian tentang propaganda berjudul “Propaganda Technique in the World War”. Berdasar pada disertasi Lasswell, Amerika Serikat yang semula memandang propaganda memiliki arti yang negatif, justru kemudian memanfaatkannya dalam Perang Dunia II dengan melibatkan sejumlah ilmuwan dan praktisi. Berkat rintisan Lasswell dalam disertasinya yang dipandang sangat penting, Wilbur Schramm ahli di bidang content analysis menempatkan Lasswell sebagai tokoh utama dalam studi komunikasi politik.
Istilah komunikasi politik dalam ilmu politik memang terbilang masih relatif baru, sekalipun obyek kajiannya sudah lama mendapatkan perhatian dalam ilmu politik  seperti partisipasi politik, perilaku pemilih, sosialisasi politik, lembaga politik, dan lain-lain. Istilah Komunikasi Politik dalam ilmu politik mulai banyak disebut sejak tahun 1960an ketika Gabriel Almond menerbitkan bukunya “The Politics of Development Area”, dimana dia menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Adapun fungsi yang dijalankan oleh sebuah sistem politik tersebut menurut Almond adalah:
  • Sosialisasi Politik, internalisasi nilai-nilai politik dari satu generasi ke generasi berikutnya.
  • Rekrutmen Politik, penyeleksian individu-individu yang berkompeten untuk duduk dalam jabatan politik maupun jabatan publik.
  • Artikulasi Kepentingan, proses penyerapan kepentingan publik atau masyarakat.
  • Agregasi Kepentingan, proses pengolahan kepentingan publik menjadi alternatif kebijakan untuk dimasukkan dan diproses dalam sistem politik.
  • Komunikasi Politik, proses penyampaian pesan-pesan politik dalam infra struktur politik, supra struktur politik, maupun dalam masyarakat.
  • Pembuatan Peraturan, proses pembuatan kebijakan.
  • Penerapan Peraturan, proses implementasi kebijakan.
  • Ajudikasi Peraturan, proses pengawasan dan evaluasi kebijakan.
Dari penjabaran fungsi system politik tersebut terlihat bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, tapi inhern dalam setiap sistem politik dan dapat ditemukan dalam tiap-tiap fungsi sistem politik yang lain. Proses komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan politik yang terjadi pada saat fungsi-fungsi yang lain dijalankan. Dengan kata lain, komunikasi politik melekat pada fungsi-fungsi yang lain dan merupakan prasyarat yang diperlukan bagi berlangsungnya fungsi-fungsi yang lain. Ketika fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan peraturan, penerapan aturan, dan ajudikasi peraturan berjalan, sesungguhnya didalamnya sedang berlangsung pula proses komunikasi politik.
Sumbangan pemikiran yang diberikan Almond tersebut adalah bahwa semua sistem politik, dimanapun dan kapanpun, memiliki persamaan yang mendasar, yaitu ditinjau dari fungsi yang dijalankan. Sekalipun bentuk atau sifat dari fungsi tersebut bisa berbeda-beda karena dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, lingkungan, budaya, dan lain-lain, namun menurut Almond perbedaan itu tidak bersifat mendasar. Dengan demikian, kajian komunikasi politik dalam ilmu politik yang perlu dicermati adalah:
  • Adanya perhatian yang sama besar terhadap arus komunikasi dari atas ke bawah (dari pemerintah/penguasa politik pada masyarakat) dan dari bawah ke atas (dari masyarakat pada pemerintah/penguasa politik).
  • Indikator arus komunikasi politik dari bawah ke atas atau dari masyarakat ke penguasa politik (bottom up) paling tidak bisa dilihat dari agregasi kepentingan dan partisipasi politik.
  • Komunikasi politik yang ideal dalam sebuah sistem politik adalah ketika dikaitkan dengan demokratisasi. Frekuensi penggunaan komunikasi politik oleh masyarakat merupakan salah satu indikator peningkatan demokratisasi politik, yang menunjukkan arus komunikasi politik tidak sekedar datang dari atas ke bawah, melainkan juga dari bawah ke atas. Hal yang penting di sini adalah keterbukaan saluran komunikasi politik dan keterbukaan penguasa politik.
Peran sebagai komunikator yang dijalankan masyarakat dalam komunikasi politik memerlukan beberapa kualifikasi, yaitu:
  • Masyarakat harus mengerti dengan baik masalah yang akan dikomunikasikan. Masyarakat dituntut untuk bisa menjelaskan masalah secara argumentatif dan rasional.
  • Masyarakat harus mampu merumuskan masalah atau tuntutan dengan jelas supaya bisa diterima dan dipahami dengan baik.
  • Masyarakat harus mampu untuk tidak menyinggung soal diri pribadi pejabat tertentu. Masalah politik adalah masalah rakyat keseluruhan, karena itu tuntutan yang diwarnai oleh sentimen pribadi bisa mengurangi kualitas tuntutan itu sendiri.
  • Kualifikasi tersebut berpangkal pada adanya sosialisasi dan pendidikan politik yang baik dalam sebuah masyarakat.
Adanya ketidakjelasan dan ketumpangtindihan (overlap) konsep komunikasi politik dengan fungsi-fungsi sistem politik lainnya ataupun dengan konsep-konsep lain dalam ilmu politik. Hal ini menyebabkan studi komunikasi politik dalam ilmu politik tidak terlihat nyata, meskipun sebenarnya obyeknya telah banyak dikaji dalam ilmu politik.
Masih kurangnya penggunaan metode dan pendekatan yang biasa digunakan ilmu komunikasi dalam mengkaji proses komunikasi. Oleh karena itu, untuk memperjelas eksistensi studi komunikasi politik, ilmuwan politik perlu menggunakan bantuan dari ilmu komunikasi yang telah berhasil menciptakan berbagai pendekatan, metode, dan konsep yang bermanfaat bagi para ilmuwan politik.
2. proses komunikasi politik di bawah partai demokrat
Proses komunikasi politik sama dengan proses komunikasi pada umumnya (komunikasi tatap muka dan komunikasi bermedia) dengan alur dan komponen:

1. Komunikator/Sender – Pengirim pesan
2. Encoding – Proses penyusunan ide menjadi simbol/pesan
3. Message – Pesan
4. Media – Saluran
5. Decoding – Proses pemecahan/ penerjemahan simbol-simbol
6. Komunikan/Receiver – Penerima pesan
7. Feed Back – Umpan balik, respon.
Salah satu bentuk komunikasi politik yang di lakukan oleh Partai Demokrat adalah berupaya meningkatkan komunikasi dan kedekatannya dengan rakyat. Hal ini menjadi tujuan utama safari ramadhan keliling Jawa dan Madura DPP Partai Demokrat.
"Safari ramadhan DPP Partai Demokrat bertujuan untuk melihat dan berdialog langsung dengan rakyat. Ini agar Partai Demokrat makin komunikatif dengan rakyat," kata Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, saat acara pemberian bantuan bahan pokok di Cimahi, Jawa Barat, Senin (6/8/2012).
Safari Ramadhan DPP Demokrat dimulai dari acara bertemu masyarakat di Cimahi pada 6 Agustus 2012 ini, dan berakhir di Sampang, Madura, 11 Agustus 2012.
Dalam acara di Cimahi, Anas didampingi Sekjen DPP Partai Demokrat Edhi Baskoro Yudhoyono dan para pengurus DPP lainnya seperti Max Sopacua, Saan Mustofa, dan Ramadhan Pohan.
Dalam sambutannya Anas mengatakan, partai terbaik adalah partai yang dekat dengan rakyat, mengetahui persoalan rakyat dan mampu memberikan solusi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Anas juga mengajak para kader Demokrat di DPRD Cimahi untuk rajin menemui konstituennya.
3. komunikator politik

Komunikator Politik adalah sebutan bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia politik .

      A .Politikus
Politikus adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudikatif serta pimpinan organisasi politik.

      B .Profesional
Profesional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karena keahliannya berkomunikasi. Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media massa; dan perkembangan serta merta media khusus (seperti majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan.

      C .Aktivis
adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Terdiri dari :
Pertama, terdapat jurubicara bagi kepentingan yang terorganisasi. Pada umumnya orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintah.
Kedua, terdapat pemuka pendapat yang bergerak dalam jaringan interpersonal. Sebuah badan penelitian yang besar menunjukkan bahwa banyak warga negara yang dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat politis, meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka.
4. pembicaraan pesan politik kader demokrat

Surplus dukungan dan pemanjaan fasilitas pencitraan adalah dua pokok perkara yang kini menghilang dari Partai Demokrat. Apa-apa yang dulu begitu istimewa di tubuh partai berlogo The Mercy ini, kini malah berbalik menjadi beban. Keseluruhan poin plus, yang mengantar kemenangan gemilang di Pemilu 2009, saat ini justru menjadi poin serangan banyak kalangan.
Sebut saja popularitas figur SBY, kegemilangan iklan anti korupsi, serta pasokan atribut kampanye yang luar biasa, kini perlahan tapi pasti berbalik surut. Dengan begitu, tak ada pilihan lain kecuali bahwa demokrat butuh melakukan reposisi. Bukan hanya di level nasional, tetapi juga lokal.
Agenda pertama dan paling utama yang niscaya dilakukan adalah redefinisi (pemaknaan kembali) strategi pencitraan. Lantaran di titik inilah sesungguhnya jantung persoalan yang sesungguhnya. Strategi pencitraan, benar seratus persen, pernah menghantar demokrat menjadi the big party. Strategi itu pula yang saat ini terbukti menjadi the big problems
Para kader demokrat harus memahami, bahwa taktik pencitraan yang benar dan berdaya tahan lama harus berbasis pada fakta dan realitas, bukan bersandar pada persepsi dan imajinasi. Jika metodologi pencitraan hanya bermain-main pada wilayah janji dan imajinasi, maka hasilnya hanya bagus sebagai kesan awal, selanjutnya malah menjadi petaka.
Mengapa?
Teori komunikasi politik mengenal istilah uses and gratification (daya guna dan faedah). Teori itu mejelaskan bahwa publik luas memang bisa terkesima oleh sebuah pesan (kampanye) politik, lantas mereka memperoleh persepsi positif, serta mau untuk memberikan dukungan (misalnya memilih demokrat di bilik TPS pada 2009 lalu). Tetapi, ini hanyalah tahapan awal. Berikutnya, publik luas pasti menagih apa-apa yang dijanjikan oleh pesan politik. Jika kemudian komunikator (dalam hal ini Partai Demokrat), gagal memberikan faedah (sesuai dengan janjinya), maka mereka pasti mengucapkan Sayonara (selamat tinggal).
Inilah jantung persoalan. Hingga detik ini demokrat masih bermain-main di tahapan yang mestinya sudah mereka lewati, untuk maju ke tahapan berikut, yaitu pembuktian-pembuktian (lewat program konkrit dan menjawab aspirasi publik). Demokrat masih berkutat dengan strategi pencitraan —seolah meyakini bahwa medan persepsi rakyat bisa dikunci dengan pesan-pesan manis.
Partai inipun tetap terperangkap pada gaya lama yang mestinya sudah mereka lucuti, yakni percaya pada basis popularitas figur dan retorika politik. Padahal, dinamika politik terkini tak membutuhkan hal-hal itu. Popularitas SBY misalnya, adalah paralel dengan bukti-bukti dan kinerja faktual yang dilakukan oleh program pemerintah saat ini, beda dengan dulu, ketika rakyat masih melihatnya sebagai figur pembawa harapan. Pun dengan retorika politik, sama sekali tak mempan untuk menghipnotis para pemilih. Lantaran saat ini publik tidak berhadapan dengan permainan persepsi, melainkan benar-benar bergumul dengan persoalan realitas (yaitu isu korupsi, isu BBM, isu kemiskinan, dan lain-lain).
Kembali ditegaskan, bahwa strategi jalan ke luar (exit strategy) bagi demokrat terkini wajib berpijak pada realisasi kerja dan bukan retorika. Di titik ini, rekaya pencitraan tak boleh lagi menjadi strategi, melainkan cukup hanya menjadi piranti (alat bantu saja).
Bagaimana?
Pertama, optimalisasi pelbagai sumber daya yang telah tersedia. Bahwa kondisi saat ini terkesan kisruh, tetapi di lingkungan internal, partai ini sudah terkelola lumayan baik. Setidaknya, asas kelembagaan partai dan kekuatan organisasi telah cukup mapan. Modal infrastruktur partai (jaringan luas dan menyebar) ini yang harus menjadi ujung tombak untuk bergerak. Mereka harus diaktivasi agar produktif menggelar program-program populis, diberi kesempatan untuk bertarung dalam setiap agenda politik (terutama di tingkat lokal, misalnya dalam Pilkada), serta diberi akses besar untuk terlibat dalam agenda kerja pemerintah (yang dipimpin oleh SBY-Boediono).
Ini artinya, memposisikan ribuan (atau mungkin jutaan) kader demokrat untuk berpikir realistis —tidak lagi mengharap ada durian runtuh, yaitu kemenangan besar seperti di waktu lalu. Mereka harus bergerak sebagaimana layaknya kader di partai lain, tidak manja, tidak hanya berharap-harap, dan menunggu keberuntungan.
Kedua, mendorong agar kekuatan inti partai tidak memusat, melainkan menyebar.
Opsi ini membawa keharusan pada adanya polarisasi (penyebaran) kekuatan partai. Demokrat tak boleh lagi hanya kuat di satu titik, melainkan harus perkasa di semua faktor (baik tokoh, organisasi, kader, program, sumber daya, dan komunikasi politik). Seluruh organ dan kekuatan pendukung partai sudah saatnya didorong untuk berkiprah total, sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing.
Ketiga, mesin partai harus rajin melakukan eksperimentasi, dalam setiap kancah pertarungan dan kompetisi politik. Eksperimentasi ini berbentuk macam-macam, misalnya memberi kesempatan yang fair terhadap para kader untuk bertempur di Pilkada (dan menghentikan praktek menggunting kader, serta menyusupkan calon lain yang tak jelas komitmennya terhadap partai). Bagaimanapun, soliditas, komitmen, dan daya juang para kader butuh medan pembuktian, dalam pelbagai momentum politik.
Keempat, tentu saja dengan edukasi dan pengembangan kemampuan para kader. Karena bagaimanapun, sebuah partai moderen harus berbasis pada kualitas dan kompetensi para kader. Terakhir ini, pergumulan politik sedemikian cepat dan berganti-ganti. Terlihat bahwa hanya partai-partai yang memiliki karakter moderen yang kerap kali memetik keuntungan dari pusaran konflik politik. Partai Demokrat, jujur saja, seringkali menjadi pihak yang kalah dalam kontestasi politik semacam ini, karena kualitas kader yang belum mumpuni.
Empat pokok soal inilah yang mestinya menjadi format politik baru Partai Demokrat. Masing-masingnya: optimalisasi kekuatan organisasi; polarisasi kekuatan; eksperimentasi politik; dan edukasi serta peningkatan kualitas kader.
Jika ikhtiar ini yang dilakukan, maka fungsi strategi pencitraan tidak lagi menjadi panglima, melainkan sebagai alat bantu saja untuk mendukung gerakan dan aktivitas kerja para kader. Kata penutup: kelak pencitraan Partai Demokrat tidak hanya memainkan persepsi, melainkan bukti kerja dan produktivitas para kadernya. Publik luas pun akan memperoleh faedah dari pola politik seperti ini, dan tak akan sungkan untuk kembali memberikan dukungan.
5. komunikasi politik sebagai pendidikan politik

Pendidikan politik adalah aktifitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi poltik pada individu. Ia meliputi keyakinan konsep yang memiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas dan perasaan politik, serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Disamping itu, ia bertujuan agar setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang aktif di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktifitas yang terus berlanjut sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud secara utuh kecuali dalam sebuah masyarakat yang bebas.Dengan demikian pendidikan politik memiliki tiga tujua : membentuk kepribadian politik, kesadara politik, dan parsisipasi politik. Pembentukan kepribadian politik dilakukan melalui metode tak langsung, yaitu pelatihan dan sosialisasi, serta metode langsung berupa pengajaran politik dan sejenisnya. Untuk menumbuhkan kesadaran politik ditempuh dua metode : dialog dan pengajaran instruktif. Adapun partisispasi politik, ia terwujud dengan keikutsertaaan individu-individu secara sukarela dalam kehidupan politik masyarakatnya. Pendidikan politik dalam masyarakat manapun mempunyai institusi dan perangkat yang menopangnya. Yang paling mendasar adalah keluarga, sekolah, partai-partai politik dan berbagai macam media penerangan. Pendidikan politik juga memiliki dasar dasar ideologis, sosisal dan politik . bertolak dari situlah tujuan-tujuannya dirumuskan. Jika yang dimaksud dengan “Pendidikan” adalah proses menumbuhkan sisi- sisi kepribadian manusia secara seimbang dan integral, maka “Pendidikan Politik” dapat dikategorikan sebagai dimensi pendidikan, dalam konteks bahwa manusia adalah makhluk politik . sebagaimana halnya bahwa pendidikan mempunyai fungsi-fungsi pemikiran moral, dan ekonomi, maka pendidikan politik juga mempunyai fungsi politik yang akan direalisasikan oleh lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan politik itulah yang akan menyiapkan anak bangsa untuk mengeluti persoalan social dalam medan kehidupan dalam bentuk atensi dan partisipasi, menyiapkan mereka untuk mengemban tanggung jawab dan memberi kesempatan yang mungkin mereka bisa menunaikan hak dan kewajibannya. Hal itu menuntut pendidikan anak bangsa untuk menggeluti berbagai persoalan sosial dalam medan kehidupan mereka dalam bentuk atensi dan partisipasinya secara politik, sehingga mereka paham terhadap ideology politik yang dianutnnya untuk kemudian membelanya dan dengannya mereka wujudkan cita-cita diri dan bangsanya. Pendidikan politik inilah yang mentransfer nilai-nilai dan ideology politik dari generasi ke generasi, dimulai dari usia dini dan terus berlan jut sepanjang hayat.
Pendidikan politik merupakan kebutuhan darurat bagi masyarakat, karena berbagai factor yang saling mempengaruhi, dengan demikian pendidikan politiklah yang dapat membentuk perasaan sebagai warga Negara yang benar , membangun individu dengan sifat-sifat yang seharusnya, lalu mengkristalkannya sehingga menjadi nasionalisme yang sebenarnya. Ialah yang akan menumbuhkan perasaan untuk senantiasa barafiliasi, bertanggung jawab dan berbangga akan jati diri bangsa. Tuntunan ini demikian mendesak dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita, mengingat bahwa penumbuhan perasaan seperti itu menjadikan seorang warga Negara serius mengetahui hak dan kewajibannya, serta berusaha memahami berbagai problematika masyarakat.
6. hambatan komunikasi politik demokrat

Konflik internal di tubuh Partai Demokrat tak kunjung berhenti. Perang pernyataan antarkader terus bergulir dan itulah fakta telanjang yang diperlihatkan ke hadapan publik. Kader Demokrat terpecah. Setiap pihak saling melontarkan pernyataan yang bertentangan. Tidak ada kesamaan pendapat, baik di antara sesama pengurus dewan pimpinan pusat (DPP) ataupun dewan pembina. Demokrat gagal melakukan komunikasi internal dengan baik.
Konflik berawal ketika Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, terjerat kasus korupsi. Nyanyian Nazaruddin menyeret beberapa kader lainnya seperti anggota Komisi X DPR RI Angelina Sondakh dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Kubu yang menginginkan Anas mundur antara lain anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul dan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hayono Isman. Ruhut bersuara nyaring dan mendesak Anas agar mundur dari jabatannya saat ini karena nama Anas sering disebut Nazaruddin terlibat kasus proyek Hambalang. Ruhut berdalih apa yang dilakukannya itu untuk menyelamatkan Partai Demokrat yang tingkat elektabilitas dan popularitasnya menurun terus. Atas pernyataannya, Ruhut ditegur Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Nurhayati Ali Assegaf.
Lalu, Hayono menyarankan agar partainya mengambil langkah politik yang penting dan drastis, bahkan tidak perlu mengambil langkah hukum. Itu untuk menyelamatkan partai agar tidak gagal di Pemilu 2014.
Di kubu Anas antara lain ada Sekretaris DPD Partai Demokrat DKI Jakarta Irfan Gani yang menyarankan Ruhut dan Hayono keluar dari Demokrat karena dinilai seperti duri dalam daging.
Jika dicermati, pernyataan petinggi Demokrat yang bertentangan itu akan memperkeruh keadaan di partai pemenang Pemilu 2009 itu. Konflik internal tersebut tidak kalah berbahaya jika dibandingkan dengan masalah kasus korupsi beberapa kadernya. Dampak yang tidak bisa terelakkan ialah popularitas Demokrat semakin menurun dan itu tentunya merugikan mereka.

Puncak silang pendapat itu terjadi karena pengurus Demokrat resah setelah mengetahui hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang diselenggarakan Juni 2012. LSI melansir pernyataan elektabilitas Demokrat turun dari 13,7% (survei Januari 2012) menjadi 11,3%. Posisi pertama ditempati Partai Golkar (20,9%) dan posisi kedua PDI Perjuangan (14%). Adapun hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) tidak jauh berbeda dengan LSI, yakni Demokrat di posisi ketiga (10,7%), urutan pertama Partai Golkar (23%), dan kedua PDIP (19,6%).

Kurang Tegas

Konflik internal berkepanjangan di tubuh Demokrat tersebut juga disebabkan kurang tegasnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku ketua dewan pembina terhadap kader partainya yang terjerat masalah korupsi. Karena tidak ada ketegasan, terutama menyangkut Anas, kader Demokrat menyatakan pendapat dan berbuat sendiri-sendiri tanpa koordinasi. Konflik internal itu mempertontonkan kepada publik adanya faksi dalam Demokrat. Padahal, SBY memiliki posisi sentral yang dapat menentukan arah kebijakan partai.

Tidak berlebihan jika beberapa pengamat politik menilai SBY gagal mengatasi konflik internal. Komunikasi dalam internal Demokrat macet. Pada pidato politik di Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat pekan lalu, SBY mengimbau politisi Demokrat agar menjalankan politik santun dan beretika. Itu pun dinilai pengamat tidak jelas siapa yang dituju.

SBY sebagai tokoh sentral harus berani mengambil langkah tegas dan pasti. Semua kader partainya yang terindikasi korupsi jangan dipertahankan, tetapi dinonaktifkan dulu dan tidak perlu dibuktikan secara hukum. Kalau SBY tidak mau, itu tentu akan merugikan Demokrat, merusak citra partai, dan yang lebih parah lagi, perolehan suara pada Pemilu 2014 akan menurun drastis.
Dalam pandangan Joseph Frankel (1988), konflik akan timbul apabila dua orang atau sekelompok orang, termasuk negara, ingin menjalankan berbagai tindakan yang tidak selaras satu sama lain. Menurut Donald H Weiss (1994), konfl ik biasanya meletus karena ketidaksepakatan, ketidakterbukaan, tidak bersahabat, atau tidak kooperatif sehingga berubah menjadi kata ‘perang’.

Konflik juga dapat diartikan suatu interaksi yang ditandai dengan bentrokan atau tubrukan antarkepentingan, gagasan, kebijakan individu, atau persoalan dasar lainnya yang bertentangan (JC Plano, RE Giggs, dan HS Robin, 1985). BA Most dan HStar (1989) mengartikan konflik sebagai suatu situasi kompetitif di saat pihak-pihak yang terlibat sadar akan posisi mereka yang bertentangan atau sebagai suatu situasi ketika setiap pihak yang ada berusaha meraih posisi yang bertentangan dengan kepentingan dan keinginan pihak lain.
Terkait dengan konflik di partai politik, konflik internal sebetulnya lazim terjadi. Namun, konflik di tubuh Demokrat sangat luar biasa parah. Jika dibiarkan, itu akan menulari kader partai lain.

Komunikasi Internal
Walaupun konflik di internal Demokrat mungkin merupakan setting dan bertujuan mengukur sejauh mana loyalitas kader, fakta menunjukkan komunikasi politik tidak berjalan dengan baik.
Jadi, Demokrat harus secepatnya menyelesaikan konflik internal. Salah satu caranya dengan duduk bersama untuk melakukan komunikasi internal. Itu kalau mereka tidak ingin melihat perolehan suara di bawah 10% pada Pemilu 2014.
Jika tidak segera diselesaikan, konflik internal dikhawatirkan akan mengganggu komunikasi politik antarsesama elite politik partai itu. Dampak seriusnya akan mengganggu infrastruktur partai secara keseluruhan sampai pada basis yang terendah.

Yang lebih drastis lagi, kalau kecewa dengan konflik internal berkepanjangan itu, para kader dan simpatisan amat mungkin berpindah kapal pada 2014, termasuk berlabuh ke partai anyar seperti Partai NasDem.
Ketegasan SBY dalam komunikasi internal tersebut sangat mungkin bisa mengatasi persoalan. Hal itu akan memberikan kepastian tentang kebijakan yang diambil terhadap masalah yang sedang dihadapi Demokrat.
Walau sulit, jika masih ingin menjadi partai yang elektabilitasnya tinggi pada Pemilu 2014, kuncinya ada di tangan SBY. Sudah saatnya SBY memimpin komunikasi internal, konsolidasi, menyamakan persepsi dan tindakan, menyatukan suara, dan membuat deklarasi bersama. SBY harus mampu menyelesaikan konflik dengan bijaksana karena kader dan simpatisan menunggu sikap tegas dan tindakan nyata.

III .Kesimpulan dan saran

Dengan sikapnya yang reaktif, banyak pengamat politik dan akademisi komunikasi poltik yang menyatakan komunikasi poltik SBY sangat buruk. SBY dianggap membuang energi dan waktu atas reaksinya terhadap komentar-komentar yang mengkritisi posisi dan kebijakannya. Penilaian ini termasuk tindakan SBY yang over-reaktif seolah melupakan suatu ketetapan dalam komunikasi politik, bahwa tindakan politik ternyata lebih penting ketimbang komunikasi politik yang bersifat verbal. Dalam teori pragmatis-informatif, seluruh tindakan komunikator adalah bagian dari komunikasi politik, dan menjadi elemen-elemen informasi yang bisa jadi cermin dari posisi dan reposisi politik sang komunikator politik di mata publik. Teori ini juga menekankan bahwa komunikasi politik secara non-verbal (baca: tindakan politik) lebih dominan dan signifikan dalam tindak komunikasi secara keseluruhan. Alangkah elegannya jika SBY diam, tidak terpancing, lebih berusaha membenahi dan meningkatkan kualitas tindakannya sejalan dengan tugasnya sebagai presiden, ketimbang memerangkap diri ke dalam jurang kebodohan komunikasi politik.

IV .Penutup

Demi menjaga proses demokratisasi di negeri ini, sebaiknya SBY dalam konteks komunikasi politik berhenti mengunakan pola-pola seperti itu. Sebaiknya komunikasi yang dibangun dengan pihak lain didasari dengan sikap fair dalam setiap proses dan efek komunikasi politik itu sendiri. Artinya setiap tindakan komunikasi poltik yang dibangun baik oleh SBY dan juga timnya harus digunakan untuk membangun demokratisasi dan bukan untuk mempertahankan status quo.
Sumber :
http://www.demokrat.or.id/
http://imjulvian01.wordpress.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar