Nama :
Julvian
Nim :
110240120
Mk :
komunikasi politik
Bentuk komunikasi politik di kekuasan partai Demokrat
I .Pendahuluan/pengantar
Bila dicermati dalam kurun beberapa waktu
belakangan ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baik dalam kapasitasnya sebagai
presiden maupun petinggi Partai Demokrat kerap mengeluarkan
pernyataan-pernyataan atas situasi yang berkembang dalam dinamika sosial
kemasyarakatan di negara ini. Salah satu pernyataannya adalah dalam pidato
Presiden (8 Desember 2009) dalam menyambut Peringatan Hari Anti Korupsi
Internasional (9 Desember 2009). Seperti biasa SBY mencoba menetralisasi
pernyataan-pernyataan yang dia sampaikan sebelumnya terkait agenda aksi anti
korupsi yang digalang oleh komponen masyarakat sipil. Kurang lebih dalam
pidatonya tersebut. SBY menyatakan dukungan terhadap gerakan pemberantasan
korupsi termasuk mendukung aksi peringatan hari anti korupsi internasional
seraya menegaskan bahwa dia berada di garis paling depan untuk pemberantasan
korupsi di Indonesia. Tidak lupa sambil menyelipkan klaim prestasi-prestasi
dalam bidang pemberantasan korupsi.
Pernyataan yang menurut penulis sungguh berbeda
nuansanya dengan pernyataan yang SBY keluarkan sebelum-sebelumnya. Dalam
beberapakali kesempatan, SBY berulangkali menekankan kekhawatiraanya atas
rencana pelaksanaan aksi massa untuk memperingati hari anti korupsi yang
digalang oleh kelompok sipil akan digunakan untuk kepentingan politik berupa
penjatuhan posisinya sebagai presiden. Juga menyatakan bahwa aksi massa
tersebut akan dibonceng oleh para penumpang gelap. Tidak cukup hanya SBY saja,
aparat di bawahnyapun bersuara senada. Sehingga terkesan kekhawatiran ini telah
menajdi kekhawatiran rezim. Mungkin lantaran tekanan situasi politik yang
berbeda sehingga respon SBY dalam penyikapan hari anti korupsi Internasional
kali ini berbeda jauh dengan peringatan yang sama pada tahun 2008. Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa di awal kepemimpinan jilid keduanya, SBY telah
dihadiahi persoalan politik dan hukum yang berat. Mulai dari rekayasa
kriminalisasi KPK sampai kondisi politik serius dimana hak angket atas kasus
Bank Century bergulir begitu maju. Dapat dikatakan hak angket tersebut berbeda
dengan 8 hak angket yang bergulir di era kepresidenan SBY yang pertama.
Namun paparan di atas dapat saja terbantahkan
bila merunut kembali berbagai pernyataan SBY yang kerap mendramatisasi keadaan
bahkan cenderung prematur. Mari cermati kembali sikap SBY dalam menanggapi
tragedi Bom JW Mariot Jakarta (17 Juli 2009). Dengan sangat yakin SBY
menyatakan bahwa tragedi bom tersebut berhubungan dengan persoalan politik
terutama menyangkut kemenangannya dalam pilpres 2009. SBY mensinyalir bahwa ada
kelompok-kelompok yang tidak suka dengan kemenangannya dan mencoba mengganggu
termasuk merencanakan pendudukan KPU demi penggagalan hasil Pemilu. Bahkan
dengan keyakinan diri yang tinggi berulangkali SBY menyatakan bahwa
pernyataannya berdasarkan data intelijen, data yang valid dan seolah-olah tidak
terbantahkan.
Namun demikian faktanya, setelah kasus pemboman
hotel itu dapat dibongkar oleh aparat kepolisian, tidak satupun fakta-fakta
yang dapat menjelaskan hubungannya dengan gangguan politik yang ditujukan
terhadap SBY. Beberapakali terkesan bahwa pernyataan yang disampaikan SBY
cenderung tidak terbukti dan terlihat terburu-buru. Terkesan bahwa SBY salah
langkah dalam menyikapi perekembangan dinamika politik. Bahkan banyak yang
menganggap SBY telah gagal membangun komunikasi politik yang efektif.
II .Bahasan
1 . politik sebagai studi ilmu Komunikasi
politik
merupakan studi multidisipliner yang melibatkan beberapa cabang ilmu terutama
cabang ilmu komunikasi dan ilmu politik. Hal ini bisa dilihat dari kajian
komunikasi politik yang secara umum membahas keterkaitan antara proses
komunikasi dan proses politik yang berlangsung dalam sebuah sistem politik.
Kesulitan yang dialami oleh kebanyakan studi multidisipliner seperti studi
komunikasi politik adalah sulitnya menemukan keberimbangan penekanan ataupun
perspektif dan penguasaan metodologi lintas ilmu.
Selama
ini studi komunikasi politik masih lebih banyak menjadi perhatian ilmuwan
komunikasi ketimbang ilmuwan politik, sehingga bisa dipahami ketika ada
perspektif yang berbeda dalam melihat proses komunikasi politik yang terjadi
dalam sebuah sistem politik. Perbedaan penekanan dan perspektif antara ilmuwan
komunikasi dan ilmuwan politik dalam melihat komunikasi politik terletak pada:
- Ilmuwan komunikasi lebih cenderung melihat peran media massa dalam komunikasi politik, sedangkan ilmuwan politik (khususnya penganut mazhab behavioralisme) cenderung melihat proses komunikasi politik dari segi pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik dalam kegiatan kemasyarakatan.
- Ilmuwan komunikasi cenderung melihat saluran komunikasi politik dalam bentuk media massa sebagai saluran terpenting. Sedangkan ilmuwan politik melihat saluran media massa dan saluran tatap muka yang melibatkan pemimpin opini (opinion leader) memainkan peran yang sama pentingnya.
Penelusuran
yang dilakukan dengan cara memperlihatkan bahwa kajian komunikasi politik
berawal dari kajian tentang propaganda dan opini publik pada tahun 1922 dimana
Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann melakukan penelitian tentang opini
publik, disusul oleh peneliti-peneliti berikutnya. Pada tahun 1027 Harold
Lasswell dalam disertasinya melakukan penelitian tentang propaganda berjudul
“Propaganda Technique in the World War”. Berdasar pada disertasi Lasswell,
Amerika Serikat yang semula memandang propaganda memiliki arti yang negatif,
justru kemudian memanfaatkannya dalam Perang Dunia II dengan melibatkan
sejumlah ilmuwan dan praktisi. Berkat rintisan Lasswell dalam disertasinya yang
dipandang sangat penting, Wilbur Schramm ahli di bidang content analysis
menempatkan Lasswell sebagai tokoh utama dalam studi komunikasi politik.
Istilah
komunikasi politik dalam ilmu politik memang terbilang masih relatif baru,
sekalipun obyek kajiannya sudah lama mendapatkan perhatian dalam ilmu
politik seperti partisipasi politik, perilaku pemilih, sosialisasi politik,
lembaga politik, dan lain-lain. Istilah Komunikasi Politik dalam ilmu politik
mulai banyak disebut sejak tahun 1960an ketika Gabriel Almond menerbitkan
bukunya “The Politics of Development Area”, dimana dia menyebutkan bahwa
komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap
sistem politik. Adapun fungsi yang dijalankan oleh sebuah sistem politik
tersebut menurut Almond adalah:
- Sosialisasi Politik, internalisasi nilai-nilai politik dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Rekrutmen Politik, penyeleksian individu-individu yang berkompeten untuk duduk dalam jabatan politik maupun jabatan publik.
- Artikulasi Kepentingan, proses penyerapan kepentingan publik atau masyarakat.
- Agregasi Kepentingan, proses pengolahan kepentingan publik menjadi alternatif kebijakan untuk dimasukkan dan diproses dalam sistem politik.
- Komunikasi Politik, proses penyampaian pesan-pesan politik dalam infra struktur politik, supra struktur politik, maupun dalam masyarakat.
- Pembuatan Peraturan, proses pembuatan kebijakan.
- Penerapan Peraturan, proses implementasi kebijakan.
- Ajudikasi Peraturan, proses pengawasan dan evaluasi kebijakan.
Dari
penjabaran fungsi system politik tersebut terlihat bahwa komunikasi politik
bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, tapi inhern dalam setiap sistem politik
dan dapat ditemukan dalam tiap-tiap fungsi sistem politik yang lain. Proses
komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan politik yang terjadi pada
saat fungsi-fungsi yang lain dijalankan. Dengan kata lain, komunikasi politik
melekat pada fungsi-fungsi yang lain dan merupakan prasyarat yang diperlukan
bagi berlangsungnya fungsi-fungsi yang lain. Ketika fungsi sosialisasi politik,
rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan
peraturan, penerapan aturan, dan ajudikasi peraturan berjalan, sesungguhnya
didalamnya sedang berlangsung pula proses komunikasi politik.
Sumbangan
pemikiran yang diberikan Almond tersebut adalah bahwa semua sistem politik,
dimanapun dan kapanpun, memiliki persamaan yang mendasar, yaitu ditinjau dari
fungsi yang dijalankan. Sekalipun bentuk atau sifat dari fungsi tersebut bisa
berbeda-beda karena dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, lingkungan, budaya,
dan lain-lain, namun menurut Almond perbedaan itu tidak bersifat mendasar.
Dengan demikian, kajian komunikasi politik dalam ilmu politik yang perlu
dicermati adalah:
- Adanya perhatian yang sama besar terhadap arus komunikasi dari atas ke bawah (dari pemerintah/penguasa politik pada masyarakat) dan dari bawah ke atas (dari masyarakat pada pemerintah/penguasa politik).
- Indikator arus komunikasi politik dari bawah ke atas atau dari masyarakat ke penguasa politik (bottom up) paling tidak bisa dilihat dari agregasi kepentingan dan partisipasi politik.
- Komunikasi politik yang ideal dalam sebuah sistem politik adalah ketika dikaitkan dengan demokratisasi. Frekuensi penggunaan komunikasi politik oleh masyarakat merupakan salah satu indikator peningkatan demokratisasi politik, yang menunjukkan arus komunikasi politik tidak sekedar datang dari atas ke bawah, melainkan juga dari bawah ke atas. Hal yang penting di sini adalah keterbukaan saluran komunikasi politik dan keterbukaan penguasa politik.
Peran
sebagai komunikator yang dijalankan masyarakat dalam komunikasi politik
memerlukan beberapa kualifikasi, yaitu:
- Masyarakat harus mengerti dengan baik masalah yang akan dikomunikasikan. Masyarakat dituntut untuk bisa menjelaskan masalah secara argumentatif dan rasional.
- Masyarakat harus mampu merumuskan masalah atau tuntutan dengan jelas supaya bisa diterima dan dipahami dengan baik.
- Masyarakat harus mampu untuk tidak menyinggung soal diri pribadi pejabat tertentu. Masalah politik adalah masalah rakyat keseluruhan, karena itu tuntutan yang diwarnai oleh sentimen pribadi bisa mengurangi kualitas tuntutan itu sendiri.
- Kualifikasi tersebut berpangkal pada adanya sosialisasi dan pendidikan politik yang baik dalam sebuah masyarakat.
Adanya
ketidakjelasan dan ketumpangtindihan (overlap) konsep komunikasi politik dengan
fungsi-fungsi sistem politik lainnya ataupun dengan konsep-konsep lain dalam
ilmu politik. Hal ini menyebabkan studi komunikasi politik dalam ilmu politik
tidak terlihat nyata, meskipun sebenarnya obyeknya telah banyak dikaji dalam
ilmu politik.
Masih
kurangnya penggunaan metode dan pendekatan yang biasa digunakan ilmu komunikasi
dalam mengkaji proses komunikasi. Oleh karena itu, untuk memperjelas eksistensi
studi komunikasi politik, ilmuwan politik perlu menggunakan bantuan dari ilmu
komunikasi yang telah berhasil menciptakan berbagai pendekatan, metode, dan
konsep yang bermanfaat bagi para ilmuwan politik.
2. proses komunikasi politik di bawah partai demokrat
Proses komunikasi politik sama dengan proses
komunikasi pada umumnya (komunikasi tatap muka dan komunikasi bermedia) dengan
alur dan komponen:
1. Komunikator/Sender – Pengirim pesan
2. Encoding – Proses penyusunan ide menjadi simbol/pesan
3. Message – Pesan
4. Media – Saluran
5. Decoding – Proses pemecahan/ penerjemahan simbol-simbol
6. Komunikan/Receiver – Penerima pesan
7. Feed Back – Umpan balik, respon.
Salah satu
bentuk komunikasi politik yang di lakukan oleh Partai Demokrat adalah berupaya
meningkatkan komunikasi dan kedekatannya dengan rakyat. Hal ini menjadi tujuan
utama safari ramadhan keliling Jawa dan Madura DPP Partai Demokrat.
"Safari ramadhan DPP Partai Demokrat
bertujuan untuk melihat dan berdialog langsung dengan rakyat. Ini agar Partai
Demokrat makin komunikatif dengan rakyat," kata Ketua Umum Partai
Demokrat, Anas Urbaningrum, saat acara pemberian bantuan bahan pokok di Cimahi,
Jawa Barat, Senin (6/8/2012).
Safari Ramadhan DPP Demokrat dimulai dari acara
bertemu masyarakat di Cimahi pada 6 Agustus 2012 ini, dan berakhir di Sampang,
Madura, 11 Agustus 2012.
Dalam acara di Cimahi, Anas didampingi Sekjen DPP
Partai Demokrat Edhi Baskoro Yudhoyono dan para pengurus DPP lainnya seperti
Max Sopacua, Saan Mustofa, dan Ramadhan Pohan.
Dalam sambutannya Anas mengatakan, partai terbaik
adalah partai yang dekat dengan rakyat, mengetahui persoalan rakyat dan mampu
memberikan solusi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Anas juga mengajak
para kader Demokrat di DPRD Cimahi untuk rajin menemui konstituennya.
3.
komunikator politik
Komunikator Politik adalah sebutan bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia
politik .
A .Politikus
Politikus adalah orang yang
bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah
mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah
jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudikatif serta
pimpinan organisasi politik.
B .Profesional
Profesional adalah orang-orang yang
mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karena keahliannya berkomunikasi.
Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil
sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama:
munculnya media massa; dan perkembangan serta merta media khusus (seperti
majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dsb.) yang menciptakan publik
baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan.
C .Aktivis
adalah komunikator politik utama
yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Terdiri dari :
Pertama, terdapat jurubicara bagi kepentingan yang
terorganisasi. Pada umumnya orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan
jabatan pada pemerintah.
Kedua, terdapat pemuka pendapat yang
bergerak dalam jaringan interpersonal. Sebuah badan penelitian yang besar
menunjukkan bahwa banyak warga negara yang dihadapkan pada pembuatan keputusan
yang bersifat politis, meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka.
4.
pembicaraan pesan politik kader demokrat
Surplus dukungan dan pemanjaan fasilitas pencitraan adalah dua
pokok perkara yang kini menghilang dari Partai Demokrat. Apa-apa yang dulu
begitu istimewa di tubuh partai berlogo The Mercy ini, kini malah
berbalik menjadi beban. Keseluruhan poin plus, yang mengantar kemenangan
gemilang di Pemilu 2009, saat ini justru menjadi poin serangan banyak kalangan.
Sebut saja popularitas figur SBY, kegemilangan iklan anti
korupsi, serta pasokan atribut kampanye yang luar biasa, kini perlahan tapi
pasti berbalik surut. Dengan begitu, tak ada pilihan lain kecuali bahwa
demokrat butuh melakukan reposisi. Bukan hanya di level nasional, tetapi juga
lokal.
Agenda pertama dan paling utama yang niscaya dilakukan
adalah redefinisi (pemaknaan kembali) strategi pencitraan. Lantaran di titik
inilah sesungguhnya jantung persoalan yang sesungguhnya. Strategi pencitraan,
benar seratus persen, pernah menghantar demokrat menjadi the big party.
Strategi itu pula yang saat ini terbukti menjadi the big problems…
Para kader demokrat harus memahami, bahwa taktik
pencitraan yang benar dan berdaya tahan lama harus berbasis pada fakta dan
realitas, bukan bersandar pada persepsi dan imajinasi. Jika metodologi
pencitraan hanya bermain-main pada wilayah janji dan imajinasi, maka hasilnya
hanya bagus sebagai kesan awal, selanjutnya malah menjadi petaka.
Mengapa?
Teori komunikasi politik mengenal istilah uses and
gratification (daya guna dan faedah). Teori itu mejelaskan bahwa publik
luas memang bisa terkesima oleh sebuah pesan (kampanye) politik, lantas mereka
memperoleh persepsi positif, serta mau untuk memberikan dukungan (misalnya
memilih demokrat di bilik TPS pada 2009 lalu). Tetapi, ini hanyalah tahapan
awal. Berikutnya, publik luas pasti menagih apa-apa yang dijanjikan oleh pesan
politik. Jika kemudian komunikator (dalam hal ini Partai Demokrat), gagal
memberikan faedah (sesuai dengan janjinya), maka mereka pasti mengucapkan Sayonara
(selamat tinggal).
Inilah jantung persoalan. Hingga detik ini demokrat masih
bermain-main di tahapan yang mestinya sudah mereka lewati, untuk maju ke
tahapan berikut, yaitu pembuktian-pembuktian (lewat program konkrit dan
menjawab aspirasi publik). Demokrat masih berkutat dengan strategi pencitraan
—seolah meyakini bahwa medan persepsi rakyat bisa dikunci dengan pesan-pesan manis.
Partai inipun tetap terperangkap pada gaya lama yang
mestinya sudah mereka lucuti, yakni percaya pada basis popularitas figur dan
retorika politik. Padahal, dinamika politik terkini tak membutuhkan hal-hal
itu. Popularitas SBY misalnya, adalah paralel dengan bukti-bukti dan kinerja
faktual yang dilakukan oleh program pemerintah saat ini, beda dengan dulu,
ketika rakyat masih melihatnya sebagai figur pembawa harapan. Pun dengan
retorika politik, sama sekali tak mempan untuk menghipnotis para pemilih. Lantaran
saat ini publik tidak berhadapan dengan permainan persepsi, melainkan
benar-benar bergumul dengan persoalan realitas (yaitu isu korupsi, isu BBM, isu
kemiskinan, dan lain-lain).
Kembali ditegaskan, bahwa strategi jalan ke luar (exit
strategy) bagi demokrat terkini wajib berpijak pada realisasi kerja dan bukan
retorika. Di titik ini, rekaya pencitraan tak boleh lagi menjadi strategi,
melainkan cukup hanya menjadi piranti (alat bantu saja).
Bagaimana?
Pertama, optimalisasi pelbagai sumber daya yang telah tersedia.
Bahwa kondisi saat ini terkesan kisruh, tetapi di lingkungan internal, partai
ini sudah terkelola lumayan baik. Setidaknya, asas kelembagaan partai dan
kekuatan organisasi telah cukup mapan. Modal infrastruktur partai (jaringan
luas dan menyebar) ini yang harus menjadi ujung tombak untuk bergerak. Mereka
harus diaktivasi agar produktif menggelar program-program populis, diberi
kesempatan untuk bertarung dalam setiap agenda politik (terutama di tingkat
lokal, misalnya dalam Pilkada), serta diberi akses besar untuk terlibat dalam
agenda kerja pemerintah (yang dipimpin oleh SBY-Boediono).
Ini artinya, memposisikan ribuan (atau mungkin jutaan)
kader demokrat untuk berpikir realistis —tidak lagi mengharap ada durian
runtuh, yaitu kemenangan besar seperti di waktu lalu. Mereka harus bergerak
sebagaimana layaknya kader di partai lain, tidak manja, tidak hanya
berharap-harap, dan menunggu keberuntungan.
Kedua, mendorong agar kekuatan inti partai tidak memusat,
melainkan menyebar.
Opsi ini membawa keharusan pada adanya polarisasi
(penyebaran) kekuatan partai. Demokrat tak boleh lagi hanya kuat di satu titik,
melainkan harus perkasa di semua faktor (baik tokoh, organisasi, kader,
program, sumber daya, dan komunikasi politik). Seluruh organ dan kekuatan pendukung
partai sudah saatnya didorong untuk berkiprah total, sesuai dengan kapasitas
dan kapabilitas masing-masing.
Ketiga, mesin partai harus rajin melakukan eksperimentasi, dalam
setiap kancah pertarungan dan kompetisi politik. Eksperimentasi ini berbentuk
macam-macam, misalnya memberi kesempatan yang fair terhadap para kader
untuk bertempur di Pilkada (dan menghentikan praktek menggunting kader, serta
menyusupkan calon lain yang tak jelas komitmennya terhadap partai).
Bagaimanapun, soliditas, komitmen, dan daya juang para kader butuh medan
pembuktian, dalam pelbagai momentum politik.
Keempat, tentu saja dengan edukasi dan pengembangan kemampuan para
kader. Karena bagaimanapun, sebuah partai moderen harus berbasis pada kualitas
dan kompetensi para kader. Terakhir ini, pergumulan politik sedemikian cepat
dan berganti-ganti. Terlihat bahwa hanya partai-partai yang memiliki karakter
moderen yang kerap kali memetik keuntungan dari pusaran konflik politik. Partai
Demokrat, jujur saja, seringkali menjadi pihak yang kalah dalam kontestasi
politik semacam ini, karena kualitas kader yang belum mumpuni.
Empat pokok soal inilah yang mestinya menjadi format
politik baru Partai Demokrat. Masing-masingnya: optimalisasi kekuatan
organisasi; polarisasi kekuatan; eksperimentasi politik; dan edukasi serta
peningkatan kualitas kader.
Jika ikhtiar ini yang dilakukan, maka fungsi strategi
pencitraan tidak lagi menjadi panglima, melainkan sebagai alat bantu saja untuk
mendukung gerakan dan aktivitas kerja para kader. Kata penutup: kelak
pencitraan Partai Demokrat tidak hanya memainkan persepsi, melainkan bukti
kerja dan produktivitas para kadernya. Publik luas pun akan memperoleh faedah
dari pola politik seperti ini, dan tak akan sungkan untuk kembali memberikan
dukungan.
5. komunikasi politik sebagai pendidikan politik
Pendidikan politik adalah aktifitas yang
bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi poltik pada
individu. Ia meliputi keyakinan konsep yang memiliki muatan politis, meliputi
juga loyalitas dan perasaan politik, serta pengetahuan dan wawasan politik yang
menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap
politik. Disamping itu, ia bertujuan agar setiap individu mampu memberikan
partisipasi politik yang aktif di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan
aktifitas yang terus berlanjut sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin
terwujud secara utuh kecuali dalam sebuah masyarakat yang bebas.Dengan demikian
pendidikan politik memiliki tiga tujua : membentuk kepribadian politik,
kesadara politik, dan parsisipasi politik. Pembentukan kepribadian politik
dilakukan melalui metode tak langsung, yaitu pelatihan dan sosialisasi, serta
metode langsung berupa pengajaran politik dan sejenisnya. Untuk menumbuhkan
kesadaran politik ditempuh dua metode : dialog dan pengajaran instruktif.
Adapun partisispasi politik, ia terwujud dengan keikutsertaaan individu-individu
secara sukarela dalam kehidupan politik masyarakatnya. Pendidikan politik dalam
masyarakat manapun mempunyai institusi dan perangkat yang menopangnya. Yang
paling mendasar adalah keluarga, sekolah, partai-partai politik dan berbagai
macam media penerangan. Pendidikan politik juga memiliki dasar dasar ideologis,
sosisal dan politik . bertolak dari situlah tujuan-tujuannya dirumuskan. Jika
yang dimaksud dengan “Pendidikan” adalah proses menumbuhkan sisi- sisi
kepribadian manusia secara seimbang dan integral, maka “Pendidikan Politik”
dapat dikategorikan sebagai dimensi pendidikan, dalam konteks bahwa manusia
adalah makhluk politik . sebagaimana halnya bahwa pendidikan mempunyai
fungsi-fungsi pemikiran moral, dan ekonomi, maka pendidikan politik juga
mempunyai fungsi politik yang akan direalisasikan oleh lembaga-lembaga
pendidikan.
Pendidikan politik itulah yang akan menyiapkan
anak bangsa untuk mengeluti persoalan social dalam medan kehidupan dalam bentuk
atensi dan partisipasi, menyiapkan mereka untuk mengemban tanggung jawab dan
memberi kesempatan yang mungkin mereka bisa menunaikan hak dan kewajibannya.
Hal itu menuntut pendidikan anak bangsa untuk menggeluti berbagai persoalan
sosial dalam medan kehidupan mereka dalam bentuk atensi dan partisipasinya
secara politik, sehingga mereka paham terhadap ideology politik yang dianutnnya
untuk kemudian membelanya dan dengannya mereka wujudkan cita-cita diri dan
bangsanya. Pendidikan politik inilah yang mentransfer nilai-nilai dan ideology
politik dari generasi ke generasi, dimulai dari usia dini dan terus berlan jut
sepanjang hayat.
Pendidikan politik merupakan kebutuhan darurat
bagi masyarakat, karena berbagai factor yang saling mempengaruhi, dengan
demikian pendidikan politiklah yang dapat membentuk perasaan sebagai warga
Negara yang benar , membangun individu dengan sifat-sifat yang seharusnya, lalu
mengkristalkannya sehingga menjadi nasionalisme yang sebenarnya. Ialah yang
akan menumbuhkan perasaan untuk senantiasa barafiliasi, bertanggung jawab dan
berbangga akan jati diri bangsa. Tuntunan ini demikian mendesak dan sangat
dibutuhkan oleh masyarakat kita, mengingat bahwa penumbuhan perasaan seperti itu
menjadikan seorang warga Negara serius mengetahui hak dan kewajibannya, serta
berusaha memahami berbagai problematika masyarakat.
6.
hambatan komunikasi politik demokrat
Konflik internal di tubuh Partai
Demokrat tak kunjung berhenti. Perang pernyataan antarkader terus bergulir dan
itulah fakta telanjang yang diperlihatkan ke hadapan publik. Kader Demokrat
terpecah. Setiap pihak saling melontarkan pernyataan yang bertentangan. Tidak
ada kesamaan pendapat, baik di antara sesama pengurus dewan pimpinan pusat
(DPP) ataupun dewan pembina. Demokrat gagal melakukan komunikasi internal
dengan baik.
Konflik berawal ketika Muhammad
Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, terjerat kasus korupsi.
Nyanyian Nazaruddin menyeret beberapa kader lainnya seperti anggota Komisi X
DPR RI Angelina Sondakh dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Kubu yang menginginkan Anas mundur
antara lain anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul dan anggota Dewan Pembina
Partai Demokrat Hayono Isman. Ruhut bersuara nyaring dan mendesak Anas agar
mundur dari jabatannya saat ini karena nama Anas sering disebut Nazaruddin
terlibat kasus proyek Hambalang. Ruhut berdalih apa yang dilakukannya itu untuk
menyelamatkan Partai Demokrat yang tingkat elektabilitas dan popularitasnya
menurun terus. Atas pernyataannya, Ruhut ditegur Ketua Fraksi Partai Demokrat
DPR Nurhayati Ali Assegaf.
Lalu, Hayono menyarankan agar
partainya mengambil langkah politik yang penting dan drastis, bahkan tidak
perlu mengambil langkah hukum. Itu untuk menyelamatkan partai agar tidak gagal
di Pemilu 2014.
Di kubu Anas antara lain ada
Sekretaris DPD Partai Demokrat DKI Jakarta Irfan Gani yang menyarankan Ruhut
dan Hayono keluar dari Demokrat karena dinilai seperti duri dalam daging.
Jika dicermati, pernyataan petinggi
Demokrat yang bertentangan itu akan memperkeruh keadaan di partai pemenang
Pemilu 2009 itu. Konflik internal tersebut tidak kalah berbahaya jika
dibandingkan dengan masalah kasus korupsi beberapa kadernya. Dampak yang tidak
bisa terelakkan ialah popularitas Demokrat semakin menurun dan itu tentunya
merugikan mereka.
Puncak silang pendapat itu terjadi
karena pengurus Demokrat resah setelah mengetahui hasil survei Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) yang diselenggarakan Juni 2012. LSI melansir pernyataan
elektabilitas Demokrat turun dari 13,7% (survei Januari 2012) menjadi 11,3%.
Posisi pertama ditempati Partai Golkar (20,9%) dan posisi kedua PDI Perjuangan
(14%). Adapun hasil survei Soegeng
Sarjadi Syndicate (SSS) tidak jauh berbeda dengan LSI, yakni Demokrat di
posisi ketiga (10,7%), urutan pertama Partai Golkar (23%), dan kedua PDIP
(19,6%).
Kurang Tegas
Konflik internal berkepanjangan di
tubuh Demokrat tersebut juga disebabkan kurang tegasnya Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) selaku ketua dewan pembina terhadap kader partainya yang
terjerat masalah korupsi. Karena tidak ada ketegasan, terutama menyangkut Anas,
kader Demokrat menyatakan pendapat dan berbuat sendiri-sendiri tanpa
koordinasi. Konflik internal itu mempertontonkan kepada publik adanya faksi
dalam Demokrat. Padahal, SBY memiliki posisi sentral yang dapat menentukan arah
kebijakan partai.
Tidak berlebihan jika beberapa
pengamat politik menilai SBY gagal mengatasi konflik internal. Komunikasi dalam
internal Demokrat macet. Pada pidato politik di Forum Komunikasi Pendiri dan
Deklarator Partai Demokrat pekan lalu, SBY mengimbau politisi Demokrat agar
menjalankan politik santun dan beretika. Itu pun dinilai pengamat tidak jelas
siapa yang dituju.
SBY sebagai tokoh sentral harus
berani mengambil langkah tegas dan pasti. Semua kader partainya yang
terindikasi korupsi jangan dipertahankan, tetapi dinonaktifkan dulu dan tidak
perlu dibuktikan secara hukum. Kalau SBY tidak mau, itu tentu akan merugikan
Demokrat, merusak citra partai, dan yang lebih parah lagi, perolehan suara pada
Pemilu 2014 akan menurun drastis.
Dalam pandangan Joseph Frankel
(1988), konflik akan timbul apabila dua orang atau sekelompok orang, termasuk
negara, ingin menjalankan berbagai tindakan yang tidak selaras satu sama lain.
Menurut Donald H Weiss (1994), konfl ik biasanya meletus karena
ketidaksepakatan, ketidakterbukaan, tidak bersahabat, atau tidak kooperatif
sehingga berubah menjadi kata ‘perang’.
Konflik juga dapat diartikan suatu
interaksi yang ditandai dengan bentrokan atau tubrukan antarkepentingan,
gagasan, kebijakan individu, atau persoalan dasar lainnya yang bertentangan (JC
Plano, RE Giggs, dan HS Robin, 1985). BA Most dan HStar (1989) mengartikan
konflik sebagai suatu situasi kompetitif di saat pihak-pihak yang terlibat
sadar akan posisi mereka yang bertentangan atau sebagai suatu situasi ketika
setiap pihak yang ada berusaha meraih posisi yang bertentangan dengan
kepentingan dan keinginan pihak lain.
Terkait dengan konflik di partai
politik, konflik internal sebetulnya lazim terjadi. Namun, konflik di tubuh
Demokrat sangat luar biasa parah. Jika dibiarkan, itu akan menulari kader
partai lain.
Komunikasi Internal
Walaupun konflik di internal
Demokrat mungkin merupakan setting dan bertujuan mengukur sejauh mana loyalitas
kader, fakta menunjukkan komunikasi politik tidak berjalan dengan baik.
Jadi, Demokrat harus secepatnya
menyelesaikan konflik internal. Salah satu caranya dengan duduk bersama untuk
melakukan komunikasi internal. Itu kalau mereka tidak ingin melihat perolehan
suara di bawah 10% pada Pemilu 2014.
Jika tidak segera diselesaikan,
konflik internal dikhawatirkan akan mengganggu komunikasi politik antarsesama
elite politik partai itu. Dampak seriusnya akan mengganggu infrastruktur partai
secara keseluruhan sampai pada basis yang terendah.
Yang lebih drastis lagi, kalau
kecewa dengan konflik internal berkepanjangan itu, para kader dan simpatisan
amat mungkin berpindah kapal pada 2014, termasuk berlabuh ke partai anyar
seperti Partai NasDem.
Ketegasan SBY dalam komunikasi
internal tersebut sangat mungkin bisa mengatasi persoalan. Hal itu akan
memberikan kepastian tentang kebijakan yang diambil terhadap masalah yang
sedang dihadapi Demokrat.
Walau sulit, jika masih ingin
menjadi partai yang elektabilitasnya tinggi pada Pemilu 2014, kuncinya ada di
tangan SBY. Sudah saatnya SBY memimpin komunikasi internal, konsolidasi,
menyamakan persepsi dan tindakan, menyatukan suara, dan membuat deklarasi
bersama. SBY harus mampu menyelesaikan konflik dengan bijaksana karena kader
dan simpatisan menunggu sikap tegas dan tindakan nyata.
III
.Kesimpulan dan saran
Dengan sikapnya yang reaktif, banyak pengamat
politik dan akademisi komunikasi poltik yang menyatakan komunikasi poltik SBY sangat
buruk. SBY dianggap membuang energi dan waktu atas reaksinya terhadap
komentar-komentar yang mengkritisi posisi dan kebijakannya. Penilaian ini
termasuk tindakan SBY yang over-reaktif seolah melupakan suatu
ketetapan dalam komunikasi politik, bahwa tindakan politik ternyata lebih
penting ketimbang komunikasi politik yang bersifat verbal. Dalam teori
pragmatis-informatif, seluruh tindakan komunikator adalah bagian dari
komunikasi politik, dan menjadi elemen-elemen informasi yang bisa jadi cermin
dari posisi dan reposisi politik sang komunikator politik di mata publik. Teori
ini juga menekankan bahwa komunikasi politik secara non-verbal (baca: tindakan
politik) lebih dominan dan signifikan dalam tindak komunikasi secara
keseluruhan. Alangkah elegannya jika SBY diam, tidak terpancing, lebih berusaha
membenahi dan meningkatkan kualitas tindakannya sejalan dengan tugasnya sebagai
presiden, ketimbang memerangkap diri ke dalam jurang kebodohan komunikasi
politik.
IV
.Penutup
Demi menjaga proses demokratisasi di
negeri ini, sebaiknya SBY dalam konteks komunikasi politik berhenti mengunakan
pola-pola seperti itu. Sebaiknya komunikasi yang dibangun dengan pihak lain
didasari dengan sikap fair dalam setiap
proses dan efek komunikasi politik itu sendiri. Artinya setiap tindakan
komunikasi poltik yang dibangun baik oleh SBY dan juga timnya harus digunakan
untuk membangun demokratisasi dan bukan untuk mempertahankan status quo.
Sumber :
http://www.demokrat.or.id/
http://imjulvian01.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar