Nama julvian
Nim
110240120
Mk komunikasi politik
MASALAH
KOMUNIKASI POLITIK DI PARTAI ACEH
I .Pendahuluan/pengantar
Secara
umum pengertian fatsoen politik mengacu pada suatu proses atau aktifitas
politik yang mengandung asa-asas etika keadaban, tatakrama, dan tanggung jawab
dalam bingkai kesetaraan dan penghormatan kepada sesama pelaku politik.
Artinya, pada tataran praksis pola perilaku personal maupun institusional dari
aktor-aktor politik selalu menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip
demokrasi yang berbasiskan integritas moral, dan konsistensi politik. Para
politisi sebagai aktor memahami dan mengamalkan fatsoen politik dan tidak
mendewakan kekuasaan. Kekuasaan bukan tujuan akhir perjuangan politik, tapi
lebih difungsikan sebagai sarana guna memfasilitasi tumbuhnya politik yang
mensejahterakan rakyat sebagai pemilik absah mandat berbangsa dan bernegara. Kelompok-kelompok
politik yang berseberangan secara politik maupun ideologis tidak pula dianggap
sebagai musuh yang harus dibinasakan sampai ke akar-akarnya. Namun lebih
diposisikan sebagai mitra yang setara dalam suatu proses kompetisi demokrasi
yang sehat. Potret konstruksi politik Indonesia pada fase awal periode
kemerdekaan Indonesia tahun 1950-an cerminan eksistensi fatsoen politik
difungsikan sebagai kompas dan fondasi berpolitik elit nasional di masa itu.
Dinamika komunikasi politik antar sesama elit partai ketika itu sangat
harmonis, meskipun perspektif visi ideologis bersebrangan secara diametral Tokoh-tokoh
partai Islam terbesar masa itu seperti Mohammad Natsir, Sukiman, dan Mohammad
Roem dkk bergaul dan berteman baik dengan tokoh partai Katolik IJ Kasimo dkk
dalam semangat kebersamaan dan kebangsaan. Perilaku politik luhur ini bukan
sekadar ilusi, tapi dipraktikkan dalam tataran realitas politik konkret dalam
Pemilu 1955. Pemilu pertama itu adalah pemilu yang paling bersih dan demokratis
sepanjang sejarah Indonesia. Kualitas pemilu yang demikian tidak mungkin
dihasilkan dari sebuah milieu politik yang minus moral dan etika politik
seperti pemilu-pemilu Indonesia selanjutnya.
Sedangkan dinamika perpolitikan di Aceh sekarang ini, terlihat hampa fatsoen politik. Lebih banyak diwarnai proses dakwa-dakwi yang mendistorsi prinsip-prinsip demokrasi dan asas mufakat yang Islami. Dalam mencari solusi atas berbagai persoalan politik cenderung disikapi secara vulgar dan kurang ramah atas kritik. Solusi atas perbedaan tidak diarahkan menuju titik temu konsesus politik yang konstruktif positif, dalam bingkai keislaman dan keacehan yang dapat diterima semua pihak. Semestinya dibangun kompromi politik berbasis kearifan lokal dalam duek pakat. Sayangnya yang sering dipertontonkan adalah duek meukap-kap sesama elit.
Sedangkan dinamika perpolitikan di Aceh sekarang ini, terlihat hampa fatsoen politik. Lebih banyak diwarnai proses dakwa-dakwi yang mendistorsi prinsip-prinsip demokrasi dan asas mufakat yang Islami. Dalam mencari solusi atas berbagai persoalan politik cenderung disikapi secara vulgar dan kurang ramah atas kritik. Solusi atas perbedaan tidak diarahkan menuju titik temu konsesus politik yang konstruktif positif, dalam bingkai keislaman dan keacehan yang dapat diterima semua pihak. Semestinya dibangun kompromi politik berbasis kearifan lokal dalam duek pakat. Sayangnya yang sering dipertontonkan adalah duek meukap-kap sesama elit.
Selemak
kisruh pilkada Aceh setahun terakhir ini adalah cerminan budaya politik yang
nir fatsoen politik. Atraksi akrobat politik antara DPRA yang dimotori PA vis
avis kubu eksekutif yang dipimpin Irwandi, yang notabene sama-sama berasal dari
rahim perjuangan GAM, telah menguras energi dan waktu elit yang seharusnya
mensejahterakan rakyat korban multi bencana, mulai dari konflik, tsunami, serta
korupsi. Tontonan politik yang disuguhkan sungguh tidak memberi pendidikan
politik kepada rakyat.
Semua
itu menegaskan fenomena faktual hilangnya fatsoen politik di panggung kekuasaan
legislatif dan eksekutif. Beragam pernyataan politik insinuatif, prejudis,
provokatif yang saling menjatuhkan, sampai pada aksi demonstrasi massa ‘rakyat’
menolak pilkada. Dilanjutkan dengan saling gugat di MK, satu pihak minta
pilkada ditunda, dan pihak lain minta terus berlanjut. Semua tindakan diarahkan
untuk mendelegitimasi lawan politik.
II. PEMBAHASAN
1 .Komunikasi
politik sebagai ilmu studi komunikasi
Komunikasi
politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara, dikaitkan dengan banyak hal,
dan dilihat dari berbagai macam sudut pandang. Sebagaimana yang diungkapkan Mc
Nair (2003) dalam bukunya Introduction to Political Communication, ia menulis
bahwa:
Setiap
buku tentang komunikasi politik harus dimulai dengan pernyataan bahwa istilah
komunikasi politik sulit untuk didefinisikan secara tepat, kelihatannya
sederhana karena dua kata dalam frase tersebut terbuka untuk didefinisikan
bermacam-macam.
Dalam
bukunya tersebut Mc Nair mengutip Denton and Woordward yang memberikan definisi
komunikasi politik sebagai berikut: Diskusi tentang alokasi public resources
(revenue), official authority (mereka yang diberikan kekuasaan untuk membuat
peraturan, keputusan legislative dan eksekutif), dan official sanction (
penghargaan atau hukuman oleh Negara). Menurut Mc Nair definisi Denton and
Woodward di atas termasuk didalamnya retorika politik verbal dan tulisan, namun
tidak termasuk komunikasi simbolik. Sedangkan menurut catatan Mc Nair, Doris
Graber berpandangan bahwa komunikasi politik termasuk didalamnya adalah
paralinguistik seperti bahasa tubuh dan tindakan politik seperti boikot dan
protes. Mc Nair sependapat dengan padangan Graber, bahkan pakaian apa yang
digunakan, gaya rambut, tata rias, logo, dan semua elemen komunikasi yang
ditujukan untuk membentuk image politik termasuk dalam komunikasi politik. Dengan
bersandar pada definisi dari Denton and Woordward, Mc Nair menekankan
komunikasi politik pada adanya intensi/maksud. Kemudian Mc Nair lebih
menyederhanakan bahwa komunikasi politik terdiri dari:
1. Semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh politikus dan actor politik yang lain untuk mencapai suatu tujuan yang spesifik
2.
Komunikasi yang dialamatkan kepada para actor politik oleh non politikus
seperti pemilih dan kolumnis
3. Komunikasi tentang para actor politik dan aktifitas mereka, sebagaimana yang dimuat berita, editorial, dan berbagai bentuk media dan diskusi politik.
3. Komunikasi tentang para actor politik dan aktifitas mereka, sebagaimana yang dimuat berita, editorial, dan berbagai bentuk media dan diskusi politik.
Graber sendiri memberikan definisi komunikasi politik mencakup:
Konstruksi
pengiriman, penerimaan, dan proses pesan yang memiliki potensi langsung atau
tidak langsung dampak politik yang signifikaan Graber melanjutkan bahwa
pengirim dan penerima pesan bisa siapa saja baik dia politisi, jornalis,
anggota kelompok kepentingan, pribadi yang tidak terorganisir, dan yang menjadi
elemen kunci adalah pada pesan yang memiliki efek politik yang signifikan pada
pemikiran,keyakinan, dan perilaku individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat
yang berada pada lingkungannya. Adanya dampak politik inilah yang mendapat
penekanan Graber.
2 .proses
komunikasi politik di aceh
Kesepakatan
para kandidat kepala daerah Aceh beberapa waktu lalu itu baru sebatas komitmen
seremonial belaka, belum bisa menggaransi terciptanya pemilukada Aceh yang
damai, jujur dan adil. Beberapa kasus teror, intimidasi dan pembakaran atribut
maupun mobil tim sukses pascadeklarasi itu, memperkuat asumsi tersebut. Oleh
karena itu, masih dibutuhkan satu tindakan lanjutan yang lebih konkret di
lapangan.
Para
pemangku (stakehoder) yang bertanggung jawab atas pemantauan setiap tahapan
pelaksanaan kampanye, khususnya Panwaslu, dan Polri perlu lebih proaktif
melakukan tindakan preventif terhadap pelaku kriminal tersebut. Termasuk juga
pengawasan atas para juru kampanye yang berwatak machiavellis. Kelompok ini
minim sensifitas konflik dan kepedulian pada penciptaan perdamaian di
masyarakat. Ini berbahaya bagi kelompok bagi kategori pemilih akar rumput yang
mayoritasnya irrational voter yang sikap politiknya lebih didorong faktor
emosional, dibanding analisis politik rasional. Sehingga mudah sekali tersulut
oleh isu-isu propaganda agitatif yang berpeluang konflik.
Pengalaman pemilu di beberapa wilayah bekas konflik, membuktikan pesta demokrasi banyak diwarnai kekerasan politik antar-pendukung kandidat. Kasus pemilu presiden Timor Leste 2007, contoh konkret yang mungkin relevan sebagai pembelajaran bagi pemilukada Aceh 2012. Pemilu di bekas koloni Portugal itu disertai konflik horizontal berdarah antara sesama mantan kombatan. Kelompok massa Fretilin dipimpin Mari Alkatiri yang mendukung capres Francisco Guterres bentrok dengan massa CNRT di bawah Xanana Gusmao yang mendukung capres Ramos Horta.
Sebagian kalangan di dalam maupun di
luar Aceh berkeyakinan pemilukada kedua Aceh ini akan berlangsung aman dan
damai. Pandangan optimis ini mengacu pada Pilkada 2006 yang berlangsung relatif
aman dan minim kekerasan. Namun jika melihat situasi dan kondisi politik Aceh
dewasa ini, pandangan tersebut masih perlu dieksplorasi lebih lanjut.
Konstruksi politik lokal Aceh hari ini sudah berubah drastis, dan sangat
kontras dengan situasi Pilkada Aceh 2006.
Dinamika
politik lokal saat itu cukup kondusif, diliputi suasana euforia damai hasil MoU
Helsinki. Relasi politik internal GAM pun sangat interaktif, solid dan kohesif.
Seluruh aspirasi politik GAM bernaung di bawah payung politik tunggal KPA.
Namun disain peta politik Aceh pada 2012 ini yang sudah terbelah dua akibat
rivalitas kepentingan elite yang dibayangi potensi kekerasan. Jika dibahasakan
dalam konteks kearifan lokal, periode 2006 bisa disebut sebagai fase sapeu
pakat (konvergensi), sedangkan periode 2012 adalah fase laen keunira
(divergensi). Pada aras inilah kampanye
berbasis komunikasi politik cerdas menjadi signifikan dan urgen
dioperasionalkan secara efektif dalam Pemilukada Aceh kali ini. Memberi ruang
edukasi, aspirasi dan partisipatif, yang mencerdaskan dan memperkaya
pengetahuan pemilih. Segala potensi konflik horizontal sesama aneuk nanggroe
selama kampanye pun dapat dihindarkan. Sehingga harapan Pemilukada Aceh kali
ini akan berlangsung dalam kedamaian dan harmoni demokrasi serta jalinan
persahabatan sesama partisipan, bukanlah sekadar mimpi politik belaka.
3 .komunikator
politik dalam KPA
Kegiatan kampanye yang dilakukan
oleh tim kampanye berkaitan erat dengan kegiatan pemasaran politik (political
marketing). Kampanye merupakan bagian penting atau salah satu bentuk
penting dari pemasaran politik. Dengan semakin ketatnya persaingan politik
karena berlangsungnya sistem multipartai dan pemilihan secara langsung saat
ini, maka pemasaran politik semakin diperlukan. Untuk memahami lebih jauh
bagaimana tahapan dan proses kampanye dijalankan, ada beberapa model kampanye
yang bisa digunakan:
Model Komponensial Kampanye
Model
kampanye ini didasarkan pada komponen atau unsur-unsur dalam proses komunikasi
yang meliputi: sumber (komunikator), pesan, saluran (media), penerima
(komunikan), efek, dan umpan balik (feed back). Unsur-unsur tersebut
harus dipandang sebagai satu kesatuan yang mendeskripsikan dinamika proses
kampanye. Model ini menempatkan sumber kampanye sebagai pihak yang dominan
mengkonstruksi pesan yang ditujukan untuk membuat perubahan pada khalayak.
Pesan-pesan kampanye disampaikan melalui berbagai media atau saluran baik yang
sifatnya formal atau non formal, media massa atau saluran personal, dan
lain-lain. Terjadinya efek berupa perubahan pada diri khalayak bisa
diidentifikasi dari umpan balik yang diterima sumber kampanye.
Model
Perkembangan Lima Tahap Fungsional
Model
ini cukup populer karena sifatnya yang fleksibel untuk diterapkan pada berbagai
jenis kampanye, baik kampanye produk, kampanye politik, maupun kampanye sosial.
Model ini menjelaskan adanya lima tahap kegiatan kampanye, yaitu: identifikasi,
legitimasi, partisipasi, penetrasi, dan distribusi. Tahap identifikasi
adalah tahap penciptaan identitas kampanye yang mudah dikenali dan diingat oleh
khalayak. Tahap legitimasi merupakan tahap “pengakuan” keberadaan
peserta kampanye oleh khalayak. Dalam kampanye politik misalnya, legitimasi
diperoleh kandidat atau partai politik ketika masuk dalam daftar peserta, atau
kandidat memperoleh dukungan dalam polling yang dilakukan oleh lembaga
independen, atau para pejabat politik yang sedang berkuasa. Tahap partisipasi
menunjuk pada partisipasi atau dukungan yang diberikan oleh khalayak.
Partisipasi ini bisa bersifat nyata maupun simbolik. Tahap penetrasi
bila kandidat atau partai politik telah hadir dan mendapat tempat dalam hati
khalayak. Tahap distribusi disebut juga sebagai tahap pembuktian. Pada
umumnya tujuan kampanye telah tercapai pada tahap ini, tinggal bagaimana
membuktikan janji-janjinya pada pemilihnya. Bila kandidat terpilih gagal dalam
tahap ini, bisa berakibat buruk bagi kelangsungan jabatannya. Pemilih bisa jadi
tidak akan memilih kandidat atau partai yang tidak bisa membuktikan
janji-janjinya pada pemilu berikutnya.
Model
Fungsi-fungsi Komunikatif
Model
ini juga melihat kampanye dari tahap-tahap proses kampanye yang dilakukan.
Langkah-langkah kampanye dimulai dari surfacing, primary, nominating,
dan diakhiri dengan election. Tahap surfacing atau pemunculan
dimulai ketika kandidat atau partai secara resmi mencalonkan diri. Dalam tahap
ini khalayak mulai mengetahui kemunculan kandidat atau partai. Tahap primary
merupakan upaya untuk memfokuskan perhatian khalayak pada kandidat atau partai.
Dalam kampanye politik pada tahap ini antar kandidat atau partai akan
“berlomba-lomba” menarik perhatian khalayak. Terakhir tahap election atau
pemilihan dimana khalayak menentukan pilihannya pada kandidat atau partai
tertentu.
Dari hasil penelaahan model yang dilakukan oleh Venus, kebanyakan
model-model kampanye yang dibahas dalam literatur komunikasi memusatkan
perhatiannya pada tahapan proses kegiatan kampanye. Sangat sedikit, kalau tidak bisa dikatakan
hampir tidak ada, model kampanye yang menggambarkan kampanye berdasarkan
unsur-unsur komunikasi sebagaimana ketika menjelaskan proses komunikasi yang
terdiri dari unsur-unsur komunikator, pesan, media, komunikan, dan feed back.
Padahal
sesungguhnya kegiatan kampanye politik merupakan bentuk kegiatan komunikasi
politik.
4 .pembicaraan
pesan politik di aceh
Pertanyaan
yang muncul selanjutnya, adalah apa yang mendasari hilangnya fatsoen politik di
kalangan elit politik Aceh? Beberapa alasan sosio historis dan kultural di
bawah ini mungkin menjelaskan persoalan ini. Pertama, dinul Islam belum
melembaga dan difungsikan sebagai parameter perpolitikan elit-elit di Aceh.
Tamadun Islam telah hilang ruhnya dalam pusaran perpolitikan di bumi Serambi
Mekkah.
Misi kerakyatan (propoor) elit telah terkontaminasi oleh unsur politik pragmatisme. Motivasi masuk ke dalam sistem terkesan lebih dimotivasi faktor Innova atau double cabin, ketimbang untuk merealisasikan janji-janji semasa kampanye untuk mensejahterakan rakyat. Inilah potret buram peta politik di Tanah Rencong hari ini, di tengah proses uji coba dan kerja keras menuju syariatnisasi kehidupan sosial politik.
Misi kerakyatan (propoor) elit telah terkontaminasi oleh unsur politik pragmatisme. Motivasi masuk ke dalam sistem terkesan lebih dimotivasi faktor Innova atau double cabin, ketimbang untuk merealisasikan janji-janji semasa kampanye untuk mensejahterakan rakyat. Inilah potret buram peta politik di Tanah Rencong hari ini, di tengah proses uji coba dan kerja keras menuju syariatnisasi kehidupan sosial politik.
Kedua,
pasca MoU Helsinki telah melahirkan euforia politik lokal, terutama hadirnya
partai politik (parpol) berbasis lokal di Aceh. Telah melahirkan sejumlah
politisi dadakan, yang sebelumnya hanya dinikmati segelintir elit parpol
berbasis nasional warisan Orde Baru. Aktor-aktor politisi baru ini terdiri dari
para mantan kombatan GAM telah mendominasi struktur politik lokal, di parlemen
(DPRA) maupun di eksekutif (kepala daerah). Lapisan elit politik baru ini secara visi
politik masih dalam proses metamorfose dari mental perang (fighter mindset)
menuju politisi sipil profesional. Sudah menjadi kelaziman lapisan politisi
dengan latar mantan gerilyawan memiliki gaya negosiasi dan pendekatan politik
yang masih diwarnai pola militeris.
Ketiga,
sejarah politik Aceh sarat episode konflik, baik berskala horizontal (revolusi
sosial) maupun vertikal (DI/TII dan GAM). Suasana lingkungan perang dibelahan
dunia mana pun, selalu diliputi idiom-idiom kekerasan politik lebih mengemuka
dan menenggelamkan peluang terbangunnya diskursus politik bernuansa intelektual
yang mencerahkan.
Kondisi
inilah yang bertahun-tahun telah menyandera demokratisasi politik Aceh yang
menghambat tampilnya kalangan intelektual muda di garda depan perpolitikan Aceh
pascakonflik. Dominasi dan hegemoni kalangan mantan kombatan adalah suatu
konsekuensi logis dari fenomena tersebut.
Keempat, faktor lemahnya daya tawar politik masyarakat sipil pengusung ideologi populis, seperti pembelaan HAM dan penyelamatan lingkungan. Sehingga upaya menekan secara politik atas partai-partai mainstream membangun politik bersih seperti pemberantasan KKN atau persekongkolan politisi dan pemilik modal. Lemahnya posisi tawar ini, telah membawa beberapa tokoh yang penuh talenta politik, melakukan migrasi politik menjadi elit partai mainstream.
Keempat, faktor lemahnya daya tawar politik masyarakat sipil pengusung ideologi populis, seperti pembelaan HAM dan penyelamatan lingkungan. Sehingga upaya menekan secara politik atas partai-partai mainstream membangun politik bersih seperti pemberantasan KKN atau persekongkolan politisi dan pemilik modal. Lemahnya posisi tawar ini, telah membawa beberapa tokoh yang penuh talenta politik, melakukan migrasi politik menjadi elit partai mainstream.
Faktor
terakhir, minimnya kontribusi ulama dalam konstelasi politik lokal Aceh
pascakonflik. Telah menghambat tumbuh dan berkembangnya fatsoen politik yang
bertamadun Islam. Terpinggirnya komunitas religius ini, buah strategi politik
kooptasi Orde Baru atas sebagian ulama ke dalam satu parpol tertentu.
Akibatnya, sekarang ini sulit mencari ulama kharismatis sekaliber ulama-ulama
produk PUSA yang mampu mendisain sistem baru. Sama sulitnya membangun fatsoen
politik Aceh sekarang ini.
Beberapa
nilai
yang layak diberikan kepada sikap politik yang sedang dijalankan oleh Partai
Aceh (PA) yang kini dinakhodai oleh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa dengan
Mualem?
Sebagaimana
diketahui, PA mengambil sikap tidak ambil bagian dalam hiruk pikuk politik
Pilkada Aceh saat ini, yang dinilainya bergerak tanpa menghormati etik dan
spirit kesepakatan damai antara Aceh dan Indonesia. Menurut PA, inti
persoalannya bukan soal boleh atau tidak boleh calon independen terlibat dalam
ajang Pilkada Aceh. Tapi, boleh atau tidak boleh itu mestilah diproses dengan
melibatkan lembaga perwakilan rakyat, DPRA.
Meski
begitu, PA juga tidak mengambil sikap menghadang jalannya politik Pilkada Aceh
saat ini. Tidak ada seruan politik kepada rakyat untuk memboikot jalannya
Pilkada Aceh. PA malah memilih tidak ikut serta sambil mengetuk hati
orang-orang pintar, bijak dan arif, yang oleh PA diyakini masih ada, baik di
nasional maupun di Aceh. PA mengajak mereka untuk menyelamatkan perdamaian
ketimbang terburu-buru dalam ajang Pilkada Aceh. Menurut PA, Jika hal utama
bisa diselamatkan (MoU dan UUPA) barulah pesta demokrasi Pilkada Aceh digelar,
bila perlu semeriah mungkin.
Sikap
politik PA ini, di satu sisi, memang terlihat sebagai sikap politik merugi.
Rugi pertama, takdir politik tiba-tiba saja tercabut pada PA. Betapa tidak,
semua partai politik memang sudah ditakdirkan untuk merebut kekuasaan.
Setidaknya, begitulah pengertian dasar dari partai politik. Dengan begitu
partai lebih yakin bisa mewujudkan cita-cita politiknya. Rugi kedua, PA sudah
memberi kartu kemenangan yang mudah bagi “lawan” politiknya. Bisa jadi dapat
menjatuhkan moral politik anggota partai, terbelah dalam politik dukungan dan
pada akhirnya bisa terjadi persinggungan politik internal partai.
Namun begitu, sikap politik PA bukan tanpa untung. Pertama, PA berhasil memperlihatkan karakter politiknya yang tegas. Rakyat akan berkesimpulan bahwa PA bukan partai politik biasa yang semata-mata berorientasi kekuasaan. Menyelamatkan pardamaian adalah hal utama. MoU Helsinki dan UUPA harus dijaga karena itulah harga diri yang menjadi jalan Aceh meraih masa depan bermartabat. Inilah peran yang sedang ditegaskan oleh PA sebagai partai politik mayoritas.
Namun begitu, sikap politik PA bukan tanpa untung. Pertama, PA berhasil memperlihatkan karakter politiknya yang tegas. Rakyat akan berkesimpulan bahwa PA bukan partai politik biasa yang semata-mata berorientasi kekuasaan. Menyelamatkan pardamaian adalah hal utama. MoU Helsinki dan UUPA harus dijaga karena itulah harga diri yang menjadi jalan Aceh meraih masa depan bermartabat. Inilah peran yang sedang ditegaskan oleh PA sebagai partai politik mayoritas.
PA,
sepertinya tidak mau mengulangi kesalahan sejarah politik masa lalu yang kerap
berakhir dengan pengkhianatan terhadap perjanjian dan kesepakatan. PA, secara
politik seperti ingin berkata bahwa Aceh berdamai tidak dalam artian menyerah
melainkan mari mengelola Aceh dengan menghormati ureung Aceh (melalui DPRA).
Jika ada yang mau diubah maka lakukan perubahan itu dengan baik menurut ukuran
perjanjian. Jika ada yang salah secara hukum atau secara politik maka
perubahannya haruslah dibicarakan sebagaimana yang sudah disepakati prosesnya.
Kedua,
sikap PA ini bisa saja menjadi penambah dorongan perbaikan UU Partai Politik
dan juga UU Pemilukada yang saat ini juga sedang menjadi diskursus politik di
nasional. Jika ini terjadi, itu artinya, Aceh akan kembali menjadi penguat laju
lokomotif bagi perbaikan demokrasi di Indonesia yang kini memang masih terus
mencari bentuknya menuju yang lebih baik lagi khususnya bagi daerah-daerah di
Indonesia.
Ketiga, sikap PA menjadi penting bagi masa depan politik Aceh. Pertama, sikap PA mematikan langkah politik instan para spekulator politik. Para spekulan politik bisa saja menang namun dengan biaya politik tinggi. Jika ini terjadi maka dukungan awal akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Logikanya sederhana, biaya politik tinggi pasti berakhir dengan kepemimpinan koruptif. Kedua, sikap PA juga mematikan langkah politik kaum ultranasionalis yang masih saja tidak rela dengan capaian politik ureung Aceh saat ini. Berbagai benturan politik dilakukan untuk memastikan adanya kontrol atas elite poliik di Aceh.
Inilah klik politik PA di bawah kepemimpinan Mualem, tentu menurut penulis. PA telah menutup pintu-pintu negosiasi politik liar sebagaimana kerap terjadi pada sejarah politik Aceh masa lalu. Banyak perjanjian politik berakhir dengan pengkianatan atau minimal menjadi perjanjian tak bermakna, yang akhirnya melahirkan benturan sosial dan pemberontakan.
Ketiga, sikap PA menjadi penting bagi masa depan politik Aceh. Pertama, sikap PA mematikan langkah politik instan para spekulator politik. Para spekulan politik bisa saja menang namun dengan biaya politik tinggi. Jika ini terjadi maka dukungan awal akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Logikanya sederhana, biaya politik tinggi pasti berakhir dengan kepemimpinan koruptif. Kedua, sikap PA juga mematikan langkah politik kaum ultranasionalis yang masih saja tidak rela dengan capaian politik ureung Aceh saat ini. Berbagai benturan politik dilakukan untuk memastikan adanya kontrol atas elite poliik di Aceh.
Inilah klik politik PA di bawah kepemimpinan Mualem, tentu menurut penulis. PA telah menutup pintu-pintu negosiasi politik liar sebagaimana kerap terjadi pada sejarah politik Aceh masa lalu. Banyak perjanjian politik berakhir dengan pengkianatan atau minimal menjadi perjanjian tak bermakna, yang akhirnya melahirkan benturan sosial dan pemberontakan.
PA,
dengan pengalaman konflik panjang, sepertinya sangat sadar akan beban berat
politik Aceh. Bila politik Aceh tidak terkelola maka siklus konflik berdarah
antara Aceh dan Indonesia bisa saja terjadi lagi. Pada saat yang sama PA,
sepertinya juga sangat menyadari potensi politik oportunis yang dimiliki Aceh,
yang bisa menggadaikan harga diri Aceh untuk sebuah kekuasaan, pengaruh, dan
uang melalui strategi politik kamuflase.
Sikap
politik PA ini tentu saja tidak mudah dan belum tentu tidak akan goyah.
Berbagai tantangan dan benturan politik masih mungkin akan dan harus dihadapi
oleh PA sekaligus elite politik Aceh lainnya. Pada akhirnya, ketahanan politik
PA memang akan diuji dipentas politik Aceh yang kini masih sangat labil. Untuk
itu, demam komunikasi politik PA memang perlu diperbaiki untuk diperkuat agar
apa yang menjadi sikap politik pimpinan PA semakin lebih dipahami dan
dimengerti oleh semua
5 .komunikasi
politik sebagai pendidikan politik di aceh
Pendidikan adalah upaya mengembangkan
potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa,
maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam
perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal.
Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis,
harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.selanjutnya
Landasan
Pendidikan diperlukan dalam dunia pendidikan khususnya di negara kita
Indonesia, agar pendidikan yang sedang berlangsung dinegara kita ini mempunyai
pondasi atau pijakan yang sangat kuat karena pendidikan di setiap negara tidak
sama. Politik Pendidikan, yaitu studi ilmiah
tentang aspek politik dalam seluruh kegiatan pendidikan. Bisa juga
dikatakan studi ilmiah pendidikan tentang kebijaksanaan pendidikan. (Suhartono,
2008 :103)
Dari
ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, landasan politik penting untuk
melatih jiwa masyarakat, berbangsa dan bertanah air dan juga dapat dimaknai
sebagai suatu studi untuk mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah
yang bila memungkinkan melakukan penyimpangan amanat.
Budaya
politik seseorang atau masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat
pendidikan seseorang atau masyarakat. Hal itu bisa dipahami mengingat semakin
tinggi kesempatan seseorang atau masyarakat mengenyam pendidikan, semakin
tinggi pula seseorang atau masyarakat memiliki kesempatan membaca,
membandingkan, mengevaluasi, sekaligus mengkritisi ruang idealitas dan realitas
politik. Maka, kunci pendidikan politik masyarakat sebenarnya terletak pada
politik pendidikan masyarakat.
Politik
pendidikan yang dimaksud termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan strategis
pemerintah dalam bidang pendidikan. Politik pendidikan yang diharapkan tentunya
politik pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil atau miskin. Bagaimanapun,
hingga hari ini masih banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan
anak-anaknya sampai tingkat SD sekalipun. Masih banyak sekolah yang kekurangan
fasilitas atau bahkan tidak memiliki gedung yang representatif atau tak
memiliki ruang belajar sama sekali. Masih banyak sekolah yang sangat kekurangan
guru pengajar. Masih banyak pula guru (honorer) yang dibayar sangat rendah yang
menyebabkan motivasi mengajarnya sangat rendah.
Dengan
kondisi tersebut, bagaimana mungkin bangsa ini bisa berdiri sejajar dengan
bangsa-bangsa lain yang kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM)-nya
sudah lebih maju. Dalam konteks politik khususnya, dengan kondisi pendidikan
seperti itu, bagaimana mungkin agenda pendidikan politik bisa dilakukan dengan
mulus dan menghasilkan kualitas budaya politik yang diharapkan. Maka, sangat
jelas, agenda pendidikan politik mensyaratkan agenda politik pendidikan yang
memberikan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat untuk belajar atau mengenyam
pendidikan, tanpa ada celah diskriminatif sekecil apa pun, sebagaimana pesan
Undang-Undang Dasar 1945.
6 .hambatan komunikasi politik di partai aceh
lahirnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sedikit
berbeda dengan undang-undang lainnya. Hal ini disebabkan, paling tidak dua
alasan: Pertama, keberadaan UUPA sebagai “kompensasi” langsung dari perjanjian
damai di Helsinki. Kedua, bentuk “kekhususan” sebagaimana diberikan dalam UUPA,
menjadi tidak bermakna bila tanpa disertai dengan aturan pelaksananya.
Menilik lagi ke belakang, bahwa kehadiran UUPA tidak bisa dilepaskan dari Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoA) Perjanjian Damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam. Perjanjian ini juga berkaitan dengan kemauan masing-masing pihak untuk mundur selangkah. GAM mundur dari tekad memisahkan diri Aceh dari NKRI. Sementara Pemerintah mundur dengan memberikan kewenangan yang besar bagi Aceh untuk mengurus dirinya. Dalam Pasal 7 UUPA disebutkan bahwa Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Kemauan dari masing-masing pihak dengan jelas dapat kita simak baik dalam MoU Helsinki, maupun dalam 273 Pasal UUPA.
Menilik lagi ke belakang, bahwa kehadiran UUPA tidak bisa dilepaskan dari Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoA) Perjanjian Damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam. Perjanjian ini juga berkaitan dengan kemauan masing-masing pihak untuk mundur selangkah. GAM mundur dari tekad memisahkan diri Aceh dari NKRI. Sementara Pemerintah mundur dengan memberikan kewenangan yang besar bagi Aceh untuk mengurus dirinya. Dalam Pasal 7 UUPA disebutkan bahwa Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Kemauan dari masing-masing pihak dengan jelas dapat kita simak baik dalam MoU Helsinki, maupun dalam 273 Pasal UUPA.
Di samping itu,
dalam penjelasan umum UUPA disebutkan bahwa dua kondisi yang menyebabkan
undang-undang tersebut lahir, yakni: Pertama, upaya mengakhiri konflik yang
telah berurat akar di Aceh selama puluhan tahun. Kedua, tsunami yang terjadi
pada 26 Desember 2004 membuat semua pihak harus berfikir keras agar Aceh bisa
dibangun kembali. Posisi inilah yang membuat kehadiran UUPA menjadi sangat
khas, yang sangat berbeda dengan UU lainnya. Posisi ini pula yang memberi
gambaran betapa penting penuntasan aturan pelaksana dari UU PA. Jangan seperti
orang Aceh bilang: Menyoe di laot sapeu pakat, ka di darat laen keunira
(terjemahan bebasnya: ketika di laut satu kata, tapi ketika di darat sudah lain
cerita). Kondisi seperti ini tidak kita harapkan, karena hadirnya UU PA memberi
implikasi, salah satunya adalah penuntasan aturan pelaksananya.
Aturan pelaksana
Bila kita buka
kembali UUPA, setidaknya terdapat 82 aturan pelaksana yang harus diselesaikan,
mencakup sepuluh Peraturan Pemerintah (PP), tiga Peraturan Predisen (Perpres),
68 Qanun Aceh, dan satu Peraturan Gubernur (Pergub). Dari seluruh aturan
pelaksana yang harus dibentuk, hingga 2012 ini, masih ada yang belum
terealisasi. Dari sepuluh PP, baru tiga PP yang sudah selesai, yakni PP Nomor
20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal (Pasal 95 UUPA), PP Nomor 58 Tahun
2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh
dan Sekda Kabupaten/Kota (Pasal 107), dan PP Nomor 83 Tahun 2010 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada DKS (Pasal 170). Di samping itu ada dua
PP yang masih dibahas, yakni Rancangan PP Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas
Bumi Aceh (Pasal 160 UU PA) dan Rancangan PP Kewenangan Perintah yang Bersifat
Nasional di Aceh (Pasal 270). Sementara lima PP yang belum selesai, adalah: (1)
Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
(Pasal 43); (2) Standar, Norma, dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Pegawai
Negeri Sipil Aceh/Kabupaten/ Kota (Pasal 124); (3) Nama Aceh dan Gelar Pejabat
Pemerintahan Aceh (Pasal 251); (4) Penyerahan Prasarana, Pendanaan, Personil
dan Dokumen Terkait dengan Pendidikan MI dan MTs (Pasal 264); (5) Penyerahan
Pelabuhan/Bandara ke Kabupaten/Kota (Pasal 265).
Sedangkan Perpres
yang sudah selesai adalah Perpres Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Tata Cara
Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional,
Rencana Pembentukan Undang-undang,dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan
Langsung denganPemerintahan Aceh (Pasal 8), dan Perpres Nomor 11 Tahun 2010
tentang Kerjasama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri
(Pasal 9). Perpres yang belum selesai adalah mengenai Penyerahan Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi
Perangkat Daerah (Pasal 253).
Sementara dari 68
Qanun Aceh yang harus diselesaikan, masih tersisa sekitar hampir 24 qanun lagi
yang harus diselesaikan. Berbeda dengan PP dan Perpres, posisi qanun sendiri
ada di Aceh. Bila masalah PP dan Perpres terkait dengan Pemerintah, maka qanun
terkait dengan kinerja eksekutif dan legislatif di Aceh sendiri. Logikanya
adalah bila dengan kerja kita sendiri saja masih belum tuntas, konon lagi
mengharap tuntasnya beban oleh Pemerintah. Tentu psikologi ini harus
benar-benar disadari oleh eksekutif dan legislatif di Aceh.
Ada peluang
Melihat masih banyak aturan pelaksana yang belum tuntas, maka jelas tantangan eksekutif dan legislatif Aceh ke depan tergolong berat. Namun demikian dengan komunikasi politik yang sudah dibangun oleh Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dengan berbagai pihak, terutama dengan Jakarta, dapat membuka peluang terselesaikannya masalah ini secara tuntas.
Paling tidak ada
dua hambatan yang terjadi selama ini. Pertama, komunikasi dengan Pemerintah
sepertinya tersendat. Pejabat Pemerintah mungkin harus dikomunikasikan lagi
mengenai wewenang dan kekhususan yang diatur dengan UUPA (yang intinya adalah
ada perbedaan dengan wewenang pada umumnya daerah lain di Indonesia). Kedua,
komunikasi politik legislatif dan eksekutif Aceh yang harus jalan mengenai
banyaknya qanun yang belum terselesaikan.
Dengan apa yang
sudah mulai dilakukan oleh Gubernur/Wakil Gubernur terpilih, menggambarkan
bahwa mereka memahami betul hambatan yang dihadapi selama ini. Membangun
komunikasi dengan berbagai pihak yang telah dilakukan, menjadi peluang besar
agar berbagai aturan pelaksana dari UUPA dapat segera terselesaikan. Tentu
saja, dalam waktu yang tidak terlalu lama.
III
.kesimpulan/saran
IV
.Penutup
jika persoalan platform partai politik kita
kemukakan, pertimbangannya sekaligus ganda. Pertimbangannya juga akan
meletakkan komitmen dan tanggung jawab demokrasi kepada partai.Agar
partai-partai dan pimpinannya melihat dan mempelajari secara terbuka dan secara
kritis, apa saja persoalan-persoalan bangsa dan negaranya. Bagaimana urutan
persoalan-persoalan itu menurut urgensi dan prioritasnya, dan bagaimana partai
akan menawarkan kerangka dan pemahaman untuk menanganinya.Kecuali menjadi
ekspresi kebebasan dan haknya, retorika politik, agar juga merupakan wacana,
adu argumen bagaimana melihat dan memahami persoalan-persoalan bangsa dan
negara dan bagaimana menunjukkan arah, semangat, dan cara untuk menanganinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar