Selasa, 06 November 2012

Masalah komunikasi politik di partai aceh


Nama          julvian
Nim             110240120
Mk               komunikasi politik

MASALAH KOMUNIKASI POLITIK DI PARTAI ACEH

I .Pendahuluan/pengantar

Secara umum pengertian fatsoen politik mengacu pada suatu proses atau aktifitas politik yang mengandung asa-asas etika keadaban, tatakrama, dan tanggung jawab dalam bingkai kesetaraan dan penghormatan kepada sesama pelaku politik. Artinya, pada tataran praksis pola perilaku personal maupun institusional dari aktor-aktor politik selalu menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang berbasiskan integritas moral, dan konsistensi politik. Para politisi sebagai aktor memahami dan mengamalkan fatsoen politik dan tidak mendewakan kekuasaan. Kekuasaan bukan tujuan akhir perjuangan politik, tapi lebih difungsikan sebagai sarana guna memfasilitasi tumbuhnya politik yang mensejahterakan rakyat sebagai pemilik absah mandat berbangsa dan bernegara. Kelompok-kelompok politik yang berseberangan secara politik maupun ideologis tidak pula dianggap sebagai musuh yang harus dibinasakan sampai ke akar-akarnya. Namun lebih diposisikan sebagai mitra yang setara dalam suatu proses kompetisi demokrasi yang sehat. Potret konstruksi politik Indonesia pada fase awal periode kemerdekaan Indonesia tahun 1950-an cerminan eksistensi fatsoen politik difungsikan sebagai kompas dan fondasi berpolitik elit nasional di masa itu. Dinamika komunikasi politik antar sesama elit partai ketika itu sangat harmonis, meskipun perspektif visi ideologis bersebrangan secara diametral Tokoh-tokoh partai Islam terbesar masa itu seperti Mohammad Natsir, Sukiman, dan Mohammad Roem dkk bergaul dan berteman baik dengan tokoh partai Katolik IJ Kasimo dkk dalam semangat kebersamaan dan kebangsaan. Perilaku politik luhur ini bukan sekadar ilusi, tapi dipraktikkan dalam tataran realitas politik konkret dalam Pemilu 1955. Pemilu pertama itu adalah pemilu yang paling bersih dan demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Kualitas pemilu yang demikian tidak mungkin dihasilkan dari sebuah milieu politik yang minus moral dan etika politik seperti pemilu-pemilu Indonesia selanjutnya.
Sedangkan dinamika perpolitikan di Aceh sekarang ini, terlihat hampa fatsoen politik. Lebih banyak diwarnai proses dakwa-dakwi yang mendistorsi prinsip-prinsip demokrasi dan asas mufakat yang Islami. Dalam mencari solusi atas berbagai persoalan politik cenderung disikapi secara vulgar dan kurang ramah atas kritik. Solusi atas perbedaan tidak diarahkan menuju titik temu konsesus politik yang konstruktif positif, dalam bingkai keislaman dan keacehan yang dapat diterima semua pihak. Semestinya dibangun kompromi politik berbasis kearifan lokal dalam duek pakat. Sayangnya yang sering dipertontonkan adalah duek meukap-kap sesama elit.
Selemak kisruh pilkada Aceh setahun terakhir ini adalah cerminan budaya politik yang nir fatsoen politik. Atraksi akrobat politik antara DPRA yang dimotori PA vis avis kubu eksekutif yang dipimpin Irwandi, yang notabene sama-sama berasal dari rahim perjuangan GAM, telah menguras energi dan waktu elit yang seharusnya mensejahterakan rakyat korban multi bencana, mulai dari konflik, tsunami, serta korupsi. Tontonan politik yang disuguhkan sungguh tidak memberi pendidikan politik kepada rakyat.
Semua itu menegaskan fenomena faktual hilangnya fatsoen politik di panggung kekuasaan legislatif dan eksekutif. Beragam pernyataan politik insinuatif, prejudis, provokatif yang saling menjatuhkan, sampai pada aksi demonstrasi massa ‘rakyat’ menolak pilkada. Dilanjutkan dengan saling gugat di MK, satu pihak minta pilkada ditunda, dan pihak lain minta terus berlanjut. Semua tindakan diarahkan untuk mendelegitimasi lawan politik.
II. PEMBAHASAN
1 .Komunikasi politik sebagai ilmu studi komunikasi
Komunikasi politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara, dikaitkan dengan banyak hal, dan dilihat dari berbagai macam sudut pandang. Sebagaimana yang diungkapkan Mc Nair (2003) dalam bukunya Introduction to Political Communication, ia menulis bahwa:
Setiap buku tentang komunikasi politik harus dimulai dengan pernyataan bahwa istilah komunikasi politik sulit untuk didefinisikan secara tepat, kelihatannya sederhana karena dua kata dalam frase tersebut terbuka untuk didefinisikan bermacam-macam.
Dalam bukunya tersebut Mc Nair mengutip Denton and Woordward yang memberikan definisi komunikasi politik sebagai berikut: Diskusi tentang alokasi public resources (revenue), official authority (mereka yang diberikan kekuasaan untuk membuat peraturan, keputusan legislative dan eksekutif), dan official sanction ( penghargaan atau hukuman oleh Negara). Menurut Mc Nair definisi Denton and Woodward di atas termasuk didalamnya retorika politik verbal dan tulisan, namun tidak termasuk komunikasi simbolik. Sedangkan menurut catatan Mc Nair, Doris Graber berpandangan bahwa komunikasi politik termasuk didalamnya adalah paralinguistik seperti bahasa tubuh dan tindakan politik seperti boikot dan protes. Mc Nair sependapat dengan padangan Graber, bahkan pakaian apa yang digunakan, gaya rambut, tata rias, logo, dan semua elemen komunikasi yang ditujukan untuk membentuk image politik termasuk dalam komunikasi politik. Dengan bersandar pada definisi dari Denton and Woordward, Mc Nair menekankan komunikasi politik pada adanya intensi/maksud. Kemudian Mc Nair lebih menyederhanakan bahwa komunikasi politik terdiri dari:

1. Semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh politikus dan actor politik yang lain untuk mencapai suatu tujuan yang spesifik
2. Komunikasi yang dialamatkan kepada para actor politik oleh non politikus seperti pemilih dan kolumnis
3. Komunikasi tentang para actor politik dan aktifitas mereka, sebagaimana yang dimuat berita, editorial, dan berbagai bentuk media dan diskusi politik.

Graber sendiri memberikan definisi komunikasi politik mencakup:
Konstruksi pengiriman, penerimaan, dan proses pesan yang memiliki potensi langsung atau tidak langsung dampak politik yang signifikaan Graber melanjutkan bahwa pengirim dan penerima pesan bisa siapa saja baik dia politisi, jornalis, anggota kelompok kepentingan, pribadi yang tidak terorganisir, dan yang menjadi elemen kunci adalah pada pesan yang memiliki efek politik yang signifikan pada pemikiran,keyakinan, dan perilaku individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat yang berada pada lingkungannya. Adanya dampak politik inilah yang mendapat penekanan Graber.
2 .proses komunikasi politik di aceh
Kesepakatan para kandidat kepala daerah Aceh beberapa waktu lalu itu baru sebatas komitmen seremonial belaka, belum bisa menggaransi terciptanya pemilukada Aceh yang damai, jujur dan adil. Beberapa kasus teror, intimidasi dan pembakaran atribut maupun mobil tim sukses pascadeklarasi itu, memperkuat asumsi tersebut. Oleh karena itu, masih dibutuhkan satu tindakan lanjutan yang lebih konkret di lapangan.
Para pemangku (stakehoder) yang bertanggung jawab atas pemantauan setiap tahapan pelaksanaan kampanye, khususnya Panwaslu, dan Polri perlu lebih proaktif melakukan tindakan preventif terhadap pelaku kriminal tersebut. Termasuk juga pengawasan atas para juru kampanye yang berwatak machiavellis. Kelompok ini minim sensifitas konflik dan kepedulian pada penciptaan perdamaian di masyarakat. Ini berbahaya bagi kelompok bagi kategori pemilih akar rumput yang mayoritasnya irrational voter yang sikap politiknya lebih didorong faktor emosional, dibanding analisis politik rasional. Sehingga mudah sekali tersulut oleh isu-isu propaganda agitatif yang berpeluang konflik.

Pengalaman pemilu di beberapa wilayah bekas konflik, membuktikan pesta demokrasi banyak diwarnai kekerasan politik antar-pendukung kandidat. Kasus pemilu presiden Timor Leste 2007, contoh konkret yang mungkin relevan sebagai pembelajaran bagi pemilukada Aceh 2012. Pemilu di bekas koloni Portugal itu disertai konflik horizontal berdarah antara sesama mantan kombatan. Kelompok massa Fretilin dipimpin Mari Alkatiri yang mendukung capres Francisco Guterres bentrok dengan massa CNRT di bawah Xanana Gusmao yang mendukung capres Ramos Horta.
  Sebagian kalangan di dalam maupun di luar Aceh berkeyakinan pemilukada kedua Aceh ini akan berlangsung aman dan damai. Pandangan optimis ini mengacu pada Pilkada 2006 yang berlangsung relatif aman dan minim kekerasan. Namun jika melihat situasi dan kondisi politik Aceh dewasa ini, pandangan tersebut masih perlu dieksplorasi lebih lanjut. Konstruksi politik lokal Aceh hari ini sudah berubah drastis, dan sangat kontras dengan situasi Pilkada Aceh 2006.
Dinamika politik lokal saat itu cukup kondusif, diliputi suasana euforia damai hasil MoU Helsinki. Relasi politik internal GAM pun sangat interaktif, solid dan kohesif. Seluruh aspirasi politik GAM bernaung di bawah payung politik tunggal KPA. Namun disain peta politik Aceh pada 2012 ini yang sudah terbelah dua akibat rivalitas kepentingan elite yang dibayangi potensi kekerasan. Jika dibahasakan dalam konteks kearifan lokal, periode 2006 bisa disebut sebagai fase sapeu pakat (konvergensi), sedangkan periode 2012 adalah fase laen keunira (divergensi).  Pada aras inilah kampanye berbasis komunikasi politik cerdas menjadi signifikan dan urgen dioperasionalkan secara efektif dalam Pemilukada Aceh kali ini. Memberi ruang edukasi, aspirasi dan partisipatif, yang mencerdaskan dan memperkaya pengetahuan pemilih. Segala potensi konflik horizontal sesama aneuk nanggroe selama kampanye pun dapat dihindarkan. Sehingga harapan Pemilukada Aceh kali ini akan berlangsung dalam kedamaian dan harmoni demokrasi serta jalinan persahabatan sesama partisipan, bukanlah sekadar mimpi politik belaka.
3 .komunikator politik dalam KPA
Kegiatan kampanye yang dilakukan oleh tim kampanye berkaitan erat dengan kegiatan pemasaran politik (political marketing). Kampanye merupakan bagian penting atau salah satu bentuk penting dari pemasaran politik. Dengan semakin ketatnya persaingan politik karena berlangsungnya sistem multipartai dan pemilihan secara langsung saat ini, maka pemasaran politik semakin diperlukan. Untuk memahami lebih jauh bagaimana tahapan dan proses kampanye dijalankan, ada beberapa model kampanye yang bisa digunakan:

Model Komponensial Kampanye
Model kampanye ini didasarkan pada komponen atau unsur-unsur dalam proses komunikasi yang meliputi: sumber (komunikator), pesan, saluran (media), penerima (komunikan), efek, dan umpan balik (feed back). Unsur-unsur tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan yang mendeskripsikan dinamika proses kampanye. Model ini menempatkan sumber kampanye sebagai pihak yang dominan mengkonstruksi pesan yang ditujukan untuk membuat perubahan pada khalayak. Pesan-pesan kampanye disampaikan melalui berbagai media atau saluran baik yang sifatnya formal atau non formal, media massa atau saluran personal, dan lain-lain. Terjadinya efek berupa perubahan pada diri khalayak bisa diidentifikasi dari umpan balik yang diterima sumber kampanye.

Model Perkembangan Lima Tahap Fungsional
Model ini cukup populer karena sifatnya yang fleksibel untuk diterapkan pada berbagai jenis kampanye, baik kampanye produk, kampanye politik, maupun kampanye sosial. Model ini menjelaskan adanya lima tahap kegiatan kampanye, yaitu: identifikasi, legitimasi, partisipasi, penetrasi, dan distribusi. Tahap identifikasi adalah tahap penciptaan identitas kampanye yang mudah dikenali dan diingat oleh khalayak. Tahap legitimasi merupakan tahap “pengakuan” keberadaan peserta kampanye oleh khalayak. Dalam kampanye politik misalnya, legitimasi diperoleh kandidat atau partai politik ketika masuk dalam daftar peserta, atau kandidat memperoleh dukungan dalam polling yang dilakukan oleh lembaga independen, atau para pejabat politik yang sedang berkuasa. Tahap partisipasi menunjuk pada partisipasi atau dukungan yang diberikan oleh khalayak. Partisipasi ini bisa bersifat nyata maupun simbolik. Tahap penetrasi bila kandidat atau partai politik telah hadir dan mendapat tempat dalam hati khalayak. Tahap distribusi disebut juga sebagai tahap pembuktian. Pada umumnya tujuan kampanye telah tercapai pada tahap ini, tinggal bagaimana membuktikan janji-janjinya pada pemilihnya. Bila kandidat terpilih gagal dalam tahap ini, bisa berakibat buruk bagi kelangsungan jabatannya. Pemilih bisa jadi tidak akan memilih kandidat atau partai yang tidak bisa membuktikan janji-janjinya pada pemilu berikutnya.

Model Fungsi-fungsi Komunikatif
Model ini juga melihat kampanye dari tahap-tahap proses kampanye yang dilakukan. Langkah-langkah kampanye dimulai dari surfacing, primary, nominating, dan diakhiri dengan election. Tahap surfacing atau pemunculan dimulai ketika kandidat atau partai secara resmi mencalonkan diri. Dalam tahap ini khalayak mulai mengetahui kemunculan kandidat atau partai. Tahap primary merupakan upaya untuk memfokuskan perhatian khalayak pada kandidat atau partai. Dalam kampanye politik pada tahap ini antar kandidat atau partai akan “berlomba-lomba” menarik perhatian khalayak. Terakhir tahap election atau pemilihan dimana khalayak menentukan pilihannya pada kandidat atau partai tertentu.

Dari hasil penelaahan model yang dilakukan oleh Venus, kebanyakan model-model kampanye yang dibahas dalam literatur komunikasi memusatkan perhatiannya pada tahapan proses kegiatan kampanye. Sangat sedikit, kalau tidak bisa dikatakan hampir tidak ada, model kampanye yang menggambarkan kampanye berdasarkan unsur-unsur komunikasi sebagaimana ketika menjelaskan proses komunikasi yang terdiri dari unsur-unsur komunikator, pesan, media, komunikan, dan feed back. Padahal sesungguhnya kegiatan kampanye politik merupakan bentuk kegiatan komunikasi politik.

4 .pembicaraan pesan politik di aceh
Pertanyaan yang muncul selanjutnya, adalah apa yang mendasari hilangnya fatsoen politik di kalangan elit politik Aceh? Beberapa alasan sosio historis dan kultural di bawah ini mungkin menjelaskan persoalan ini. Pertama, dinul Islam belum melembaga dan difungsikan sebagai parameter perpolitikan elit-elit di Aceh. Tamadun Islam telah hilang ruhnya dalam pusaran perpolitikan di bumi Serambi Mekkah.

Misi kerakyatan (propoor) elit telah terkontaminasi oleh unsur politik pragmatisme. Motivasi masuk ke dalam sistem terkesan lebih dimotivasi faktor Innova atau double cabin, ketimbang untuk merealisasikan janji-janji semasa kampanye untuk mensejahterakan rakyat. Inilah potret buram peta politik di Tanah Rencong hari ini, di tengah proses uji coba dan kerja keras menuju syariatnisasi kehidupan sosial politik.
Kedua, pasca MoU Helsinki telah melahirkan euforia politik lokal, terutama hadirnya partai politik (parpol) berbasis lokal di Aceh. Telah melahirkan sejumlah politisi dadakan, yang sebelumnya hanya dinikmati segelintir elit parpol berbasis nasional warisan Orde Baru. Aktor-aktor politisi baru ini terdiri dari para mantan kombatan GAM telah mendominasi struktur politik lokal, di parlemen (DPRA) maupun di eksekutif (kepala daerah).  Lapisan elit politik baru ini secara visi politik masih dalam proses metamorfose dari mental perang (fighter mindset) menuju politisi sipil profesional. Sudah menjadi kelaziman lapisan politisi dengan latar mantan gerilyawan memiliki gaya negosiasi dan pendekatan politik yang masih diwarnai pola militeris.
Ketiga, sejarah politik Aceh sarat episode konflik, baik berskala horizontal (revolusi sosial) maupun vertikal (DI/TII dan GAM). Suasana lingkungan perang dibelahan dunia mana pun, selalu diliputi idiom-idiom kekerasan politik lebih mengemuka dan menenggelamkan peluang terbangunnya diskursus politik bernuansa intelektual yang mencerahkan.
Kondisi inilah yang bertahun-tahun telah menyandera demokratisasi politik Aceh yang menghambat tampilnya kalangan intelektual muda di garda depan perpolitikan Aceh pascakonflik. Dominasi dan hegemoni kalangan mantan kombatan adalah suatu konsekuensi logis dari fenomena tersebut.

Keempat, faktor lemahnya daya tawar politik masyarakat sipil pengusung ideologi populis, seperti pembelaan HAM dan penyelamatan lingkungan. Sehingga upaya menekan secara politik atas partai-partai mainstream membangun politik bersih seperti pemberantasan KKN atau persekongkolan politisi dan pemilik modal. Lemahnya posisi tawar ini, telah membawa beberapa tokoh yang penuh talenta politik, melakukan migrasi politik menjadi elit partai mainstream.
 Faktor terakhir, minimnya kontribusi ulama dalam konstelasi politik lokal Aceh pascakonflik. Telah menghambat tumbuh dan berkembangnya fatsoen politik yang bertamadun Islam. Terpinggirnya komunitas religius ini, buah strategi politik kooptasi Orde Baru atas sebagian ulama ke dalam satu parpol tertentu. Akibatnya, sekarang ini sulit mencari ulama kharismatis sekaliber ulama-ulama produk PUSA yang mampu mendisain sistem baru. Sama sulitnya membangun fatsoen politik Aceh sekarang ini.
Beberapa  nilai yang layak diberikan kepada sikap politik yang sedang dijalankan oleh Partai Aceh (PA) yang kini dinakhodai oleh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa dengan Mualem?
Sebagaimana diketahui, PA mengambil sikap tidak ambil bagian dalam hiruk pikuk politik Pilkada Aceh saat ini, yang dinilainya bergerak tanpa menghormati etik dan spirit kesepakatan damai antara Aceh dan Indonesia. Menurut PA, inti persoalannya bukan soal boleh atau tidak boleh calon independen terlibat dalam ajang Pilkada Aceh. Tapi, boleh atau tidak boleh itu mestilah diproses dengan melibatkan lembaga perwakilan rakyat, DPRA.
Meski begitu, PA juga tidak mengambil sikap menghadang jalannya politik Pilkada Aceh saat ini. Tidak ada seruan politik kepada rakyat untuk memboikot jalannya Pilkada Aceh. PA malah memilih tidak ikut serta sambil mengetuk hati orang-orang pintar, bijak dan arif, yang oleh PA diyakini masih ada, baik di nasional maupun di Aceh. PA mengajak mereka untuk menyelamatkan perdamaian ketimbang terburu-buru dalam ajang Pilkada Aceh. Menurut PA, Jika hal utama bisa diselamatkan (MoU dan UUPA) barulah pesta demokrasi Pilkada Aceh digelar, bila perlu semeriah mungkin.
Sikap politik PA ini, di satu sisi, memang terlihat sebagai sikap politik merugi. Rugi pertama, takdir politik tiba-tiba saja tercabut pada PA. Betapa tidak, semua partai politik memang sudah ditakdirkan untuk merebut kekuasaan. Setidaknya, begitulah pengertian dasar dari partai politik. Dengan begitu partai lebih yakin bisa mewujudkan cita-cita politiknya. Rugi kedua, PA sudah memberi kartu kemenangan yang mudah bagi “lawan” politiknya. Bisa jadi dapat menjatuhkan moral politik anggota partai, terbelah dalam politik dukungan dan pada akhirnya bisa terjadi persinggungan politik internal partai.

Namun begitu, sikap politik PA bukan tanpa untung. Pertama, PA berhasil memperlihatkan karakter politiknya yang tegas. Rakyat akan berkesimpulan bahwa PA bukan partai politik biasa yang semata-mata berorientasi kekuasaan. Menyelamatkan pardamaian adalah hal utama. MoU Helsinki dan UUPA harus dijaga karena itulah harga diri yang menjadi jalan Aceh meraih masa depan bermartabat. Inilah peran yang sedang ditegaskan oleh PA sebagai partai politik mayoritas.
PA, sepertinya tidak mau mengulangi kesalahan sejarah politik masa lalu yang kerap berakhir dengan pengkhianatan terhadap perjanjian dan kesepakatan. PA, secara politik seperti ingin berkata bahwa Aceh berdamai tidak dalam artian menyerah melainkan mari mengelola Aceh dengan menghormati ureung Aceh (melalui DPRA). Jika ada yang mau diubah maka lakukan perubahan itu dengan baik menurut ukuran perjanjian. Jika ada yang salah secara hukum atau secara politik maka perubahannya haruslah dibicarakan sebagaimana yang sudah disepakati prosesnya.
Kedua, sikap PA ini bisa saja menjadi penambah dorongan perbaikan UU Partai Politik dan juga UU Pemilukada yang saat ini juga sedang menjadi diskursus politik di nasional. Jika ini terjadi, itu artinya, Aceh akan kembali menjadi penguat laju lokomotif bagi perbaikan demokrasi di Indonesia yang kini memang masih terus mencari bentuknya menuju yang lebih baik lagi khususnya bagi daerah-daerah di Indonesia.

Ketiga, sikap PA menjadi penting bagi masa depan politik Aceh. Pertama, sikap PA mematikan langkah politik instan para spekulator politik. Para spekulan politik bisa saja menang namun dengan biaya politik tinggi. Jika ini terjadi maka dukungan awal akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Logikanya sederhana, biaya politik tinggi pasti berakhir dengan kepemimpinan koruptif. Kedua, sikap PA juga mematikan langkah politik kaum ultranasionalis yang masih saja tidak rela dengan capaian politik ureung Aceh saat ini. Berbagai benturan politik dilakukan untuk memastikan adanya kontrol atas elite poliik di Aceh.

Inilah klik politik PA di bawah kepemimpinan Mualem, tentu menurut penulis. PA telah menutup pintu-pintu negosiasi politik liar sebagaimana kerap terjadi pada sejarah politik Aceh masa lalu. Banyak perjanjian politik berakhir dengan pengkianatan atau minimal menjadi perjanjian tak bermakna, yang akhirnya melahirkan benturan sosial dan pemberontakan.
PA, dengan pengalaman konflik panjang, sepertinya sangat sadar akan beban berat politik Aceh. Bila politik Aceh tidak terkelola maka siklus konflik berdarah antara Aceh dan Indonesia bisa saja terjadi lagi. Pada saat yang sama PA, sepertinya juga sangat menyadari potensi politik oportunis yang dimiliki Aceh, yang bisa menggadaikan harga diri Aceh untuk sebuah kekuasaan, pengaruh, dan uang melalui strategi politik kamuflase.
Sikap politik PA ini tentu saja tidak mudah dan belum tentu tidak akan goyah. Berbagai tantangan dan benturan politik masih mungkin akan dan harus dihadapi oleh PA sekaligus elite politik Aceh lainnya. Pada akhirnya, ketahanan politik PA memang akan diuji dipentas politik Aceh yang kini masih sangat labil. Untuk itu, demam komunikasi politik PA memang perlu diperbaiki untuk diperkuat agar apa yang menjadi sikap politik pimpinan PA semakin lebih dipahami dan dimengerti oleh semua 

5 .komunikasi politik sebagai pendidikan politik di aceh 

Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.selanjutnya
Landasan Pendidikan diperlukan dalam dunia pendidikan khususnya di negara kita Indonesia, agar pendidikan yang sedang berlangsung dinegara kita ini mempunyai pondasi atau pijakan yang sangat kuat karena pendidikan di setiap negara tidak sama. Politik Pendidikan, yaitu studi ilmiah tentang aspek politik dalam seluruh kegiatan pendidikan. Bisa juga dikatakan studi ilmiah pendidikan tentang kebijaksanaan pendidikan. (Suhartono, 2008 :103)
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, landasan politik penting untuk melatih jiwa masyarakat, berbangsa dan bertanah air dan juga dapat dimaknai sebagai suatu studi untuk mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah yang bila memungkinkan melakukan penyimpangan amanat.
Budaya politik seseorang atau masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat pendidikan seseorang atau masyarakat. Hal itu bisa dipahami mengingat semakin tinggi kesempatan seseorang atau masyarakat mengenyam pendidikan, semakin tinggi pula seseorang atau masyarakat memiliki kesempatan membaca, membandingkan, mengevaluasi, sekaligus mengkritisi ruang idealitas dan realitas politik. Maka, kunci pendidikan politik masyarakat sebenarnya terletak pada politik pendidikan masyarakat.
Politik pendidikan yang dimaksud termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan strategis pemerintah dalam bidang pendidikan. Politik pendidikan yang diharapkan tentunya politik pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil atau miskin. Bagaimanapun, hingga hari ini masih banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SD sekalipun. Masih banyak sekolah yang kekurangan fasilitas atau bahkan tidak memiliki gedung yang representatif atau tak memiliki ruang belajar sama sekali. Masih banyak sekolah yang sangat kekurangan guru pengajar. Masih banyak pula guru (honorer) yang dibayar sangat rendah yang menyebabkan motivasi mengajarnya sangat rendah.
Dengan kondisi tersebut, bagaimana mungkin bangsa ini bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM)-nya sudah lebih maju. Dalam konteks politik khususnya, dengan kondisi pendidikan seperti itu, bagaimana mungkin agenda pendidikan politik bisa dilakukan dengan mulus dan menghasilkan kualitas budaya politik yang diharapkan. Maka, sangat jelas, agenda pendidikan politik mensyaratkan agenda politik pendidikan yang memberikan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat untuk belajar atau mengenyam pendidikan, tanpa ada celah diskriminatif sekecil apa pun, sebagaimana pesan Undang-Undang Dasar 1945.
6 .hambatan komunikasi politik di partai aceh
lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sedikit berbeda dengan undang-undang lainnya. Hal ini disebabkan, paling tidak dua alasan: Pertama, keberadaan UUPA sebagai “kompensasi” langsung dari perjanjian damai di Helsinki. Kedua, bentuk “kekhususan” sebagaimana diberikan dalam UUPA, menjadi tidak bermakna bila tanpa disertai dengan aturan pelaksananya.
Menilik lagi ke belakang, bahwa kehadiran UUPA tidak bisa dilepaskan dari Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoA) Perjanjian Damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam. Perjanjian ini juga berkaitan dengan kemauan masing-masing pihak untuk mundur selangkah. GAM mundur dari tekad memisahkan diri Aceh dari NKRI. Sementara Pemerintah mundur dengan memberikan kewenangan yang besar bagi Aceh untuk mengurus dirinya.  Dalam Pasal 7 UUPA disebutkan bahwa Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Kemauan dari masing-masing pihak dengan jelas dapat kita simak baik dalam MoU Helsinki, maupun dalam 273 Pasal UUPA.
Di samping itu, dalam penjelasan umum UUPA disebutkan bahwa dua kondisi yang menyebabkan undang-undang tersebut lahir, yakni: Pertama, upaya mengakhiri konflik yang telah berurat akar di Aceh selama puluhan tahun. Kedua, tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 membuat semua pihak harus berfikir keras agar Aceh bisa dibangun kembali. Posisi inilah yang membuat kehadiran UUPA menjadi sangat khas, yang sangat berbeda dengan UU lainnya. Posisi ini pula yang memberi gambaran betapa penting penuntasan aturan pelaksana dari UU PA. Jangan seperti orang Aceh bilang: Menyoe di laot sapeu pakat, ka di darat laen keunira (terjemahan bebasnya: ketika di laut satu kata, tapi ketika di darat sudah lain cerita). Kondisi seperti ini tidak kita harapkan, karena hadirnya UU PA memberi implikasi, salah satunya adalah penuntasan aturan pelaksananya.

Aturan pelaksana
Bila kita buka kembali UUPA, setidaknya terdapat 82 aturan pelaksana yang harus diselesaikan, mencakup sepuluh Peraturan Pemerintah (PP), tiga Peraturan Predisen (Perpres), 68 Qanun Aceh, dan satu Peraturan Gubernur (Pergub). Dari seluruh aturan pelaksana yang harus dibentuk, hingga 2012 ini, masih ada yang belum terealisasi. Dari sepuluh PP, baru tiga PP yang sudah selesai, yakni PP Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal (Pasal 95 UUPA), PP Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh dan Sekda Kabupaten/Kota (Pasal 107), dan PP Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada DKS (Pasal 170). Di samping itu ada dua PP yang masih dibahas, yakni Rancangan PP Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi Aceh (Pasal 160 UU PA) dan Rancangan PP Kewenangan Perintah yang Bersifat Nasional di Aceh (Pasal 270). Sementara lima PP yang belum selesai, adalah: (1) Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (Pasal 43); (2) Standar, Norma, dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Pegawai Negeri Sipil Aceh/Kabupaten/ Kota (Pasal 124); (3) Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan Aceh (Pasal 251); (4) Penyerahan Prasarana, Pendanaan, Personil dan Dokumen Terkait dengan Pendidikan MI dan MTs (Pasal 264); (5) Penyerahan Pelabuhan/Bandara ke Kabupaten/Kota (Pasal 265).
Sedangkan Perpres yang sudah selesai adalah Perpres Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang,dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan Langsung denganPemerintahan Aceh (Pasal 8), dan Perpres Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri (Pasal 9). Perpres yang belum selesai adalah mengenai Penyerahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi Perangkat Daerah (Pasal 253).
Sementara dari 68 Qanun Aceh yang harus diselesaikan, masih tersisa sekitar hampir 24 qanun lagi yang harus diselesaikan. Berbeda dengan PP dan Perpres, posisi qanun sendiri ada di Aceh. Bila masalah PP dan Perpres terkait dengan Pemerintah, maka qanun terkait dengan kinerja eksekutif dan legislatif di Aceh sendiri. Logikanya adalah bila dengan kerja kita sendiri saja masih belum tuntas, konon lagi mengharap tuntasnya beban oleh Pemerintah. Tentu psikologi ini harus benar-benar disadari oleh eksekutif dan legislatif di Aceh.

Ada peluang

Melihat masih banyak aturan pelaksana yang belum tuntas, maka jelas tantangan eksekutif dan legislatif Aceh ke depan tergolong berat. Namun demikian dengan komunikasi politik yang sudah dibangun oleh Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dengan berbagai pihak, terutama dengan Jakarta, dapat membuka peluang terselesaikannya masalah ini secara tuntas.
Paling tidak ada dua hambatan yang terjadi selama ini. Pertama, komunikasi dengan Pemerintah sepertinya tersendat. Pejabat Pemerintah mungkin harus dikomunikasikan lagi mengenai wewenang dan kekhususan yang diatur dengan UUPA (yang intinya adalah ada perbedaan dengan wewenang pada umumnya daerah lain di Indonesia). Kedua, komunikasi politik legislatif dan eksekutif Aceh yang harus jalan mengenai banyaknya qanun yang belum terselesaikan.
Dengan apa yang sudah mulai dilakukan oleh Gubernur/Wakil Gubernur terpilih, menggambarkan bahwa mereka memahami betul hambatan yang dihadapi selama ini. Membangun komunikasi dengan berbagai pihak yang telah dilakukan, menjadi peluang besar agar berbagai aturan pelaksana dari UUPA dapat segera terselesaikan. Tentu saja, dalam waktu yang tidak terlalu lama.

III .kesimpulan/saran
Ada  pertimbangan amat jelas, mengapa dalam sistem demokrasi, kecuali pemerintah, partai-partai yang di luar pemerintah pun bertanggung jawab atas penyelesaian masalah bangsa. Ambillah sebagai contoh, persoalan Aceh. Apakah pemerintah belaka yang bertanggung jawab solusinya? Ataukah kecuali DPR-sebutlah-partai-partai oposisi? Kekuasaan silih berganti dalam sistem demokrasi. Silih berganti lewat pemilihan umum. Masa jabatan Presiden bahkan dibatasi sampai dua kali saja. Silih bergantinya kekuasaan itulah faktor besar yang menyebabkan, dalam sistem demokrasi, semua pihak bertanggung jawab atas solusi masalah-masalah besar bangsa dan negaranya.Sebab, manakala suatu persoalan besar tidak berhasil diselesaikan oleh pemerintah sekarang, pemerintah berikutnya tidak bisa lain, kecuali memperoleh giliran untuk menyelesaikannya. Lagi pula, apa konsekuensi jika pemerintah sekarang gagal menyelesaikan suatu masalah besar? Berarti, masalah terus terbawa ke periode kekuasaan berikutnya. Masalah akan berakumulasi. Sebab, mana ada bangsa terbelakang maupun maju yang bebas persoalan?Demokrasi secara eksplisit menegaskan diri sebagai sistem pemerintahan yang mengutamakan dan membela kepentingan rakyat banyak. Dalam sistem demokrasi, lomba bersaing dan memperoleh kekuasaan terikat oleh komitmen. Komitmen itu ialah menyelenggarakan pemerintahan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat banyak. Hal itu dilaksanakan dengan mengurai dan menyelesaikan masalah-masalah agar kesejahteraan rakyat bisa semakin terwujud.

IV .Penutup
jika persoalan platform partai politik kita kemukakan, pertimbangannya sekaligus ganda. Pertimbangannya juga akan meletakkan komitmen dan tanggung jawab demokrasi kepada partai.Agar partai-partai dan pimpinannya melihat dan mempelajari secara terbuka dan secara kritis, apa saja persoalan-persoalan bangsa dan negaranya. Bagaimana urutan persoalan-persoalan itu menurut urgensi dan prioritasnya, dan bagaimana partai akan menawarkan kerangka dan pemahaman untuk menanganinya.Kecuali menjadi ekspresi kebebasan dan haknya, retorika politik, agar juga merupakan wacana, adu argumen bagaimana melihat dan memahami persoalan-persoalan bangsa dan negara dan bagaimana menunjukkan arah, semangat, dan cara untuk menanganinya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar